14: His Other Side

389 53 23
                                    

"Hai sayang." Sapa Seokjin dengan senyum sumringah saat Jian baru saja duduk nyaman disisi kemudi.

Namun rupanya senyum sumringah Seokjin berbanding terbalik dengan reaksi Jian yang justru nampak heran dengan tingkah sang kekasih yang seolah jungkir balik seratus delapan puluh derajat. Mendadak pria itu menjadi begitu ramah, begitu manis, dan mendadak menjadi sering membuat Jian merasa bulu kuduknya berdiri setiap kali melihat perubahan sikap Seokjin.

Sebenarnya bukan Jian tidak suka dengan perubahan sikap Seokjin—jian sih tentu saja sangat senang diperlakukan baik oleh kekasihnya, memang lupa siapa yang lebih dulu menaruh hati kemudian mencoba menyembuhkan patah hatinya dengan menghindari pria tampan penuh pesona disampingnya itu? Hanya saja semua perubahan Seokjin terlalu mendadak juga terlalu drastis. Bayangkan saja, bagaimana mungkin seseorang yang awalnya begitu dingin, cuek, aneh, dan begitu suka berdebat dengan nya, belakan ini menjadi ramah, manis, penuh perhatian, meskipun masih sering mengundang perdebatan, tapi setelah menjadi kekasih Jian, Seokjin menjadi lebih sabar dan lebih suka mengalah. Meskipun memang sejak awal Seokjin tak sepenuhnya menyebalkan dimata Jian, karena memang pada dasarnya Seokjin memiliki sifat yang baik. Hanya saja kelakar-kelakar nakal justru membuat Jian merasa senang berada disisinya.

Lagi pula agaknya Jian merindukan kedamaian detak jantungnya. Karena selain sering dibuat meremang dengan perubahan sikap Seokjin, Jian juga tak jarang dibuat nyaris terkena serangan jantung setiap kali mendapatkan perlakuan manis dari sang kekasih.

"Jadi mau makan dimana?" tanya Seokjin. Tangan nya terulur mengambil sabuk pengaman Jian, berniat memasangkan.

Namun niat baiknya lekas dihempas saat Jian memukul pelan tangan Seokjin dan mengambil alih sabuk pengaman untuk dipasangkan sediri, "dirumah saja, aku akan masak untukmu." katanya, kemudian bersandar nyaman pada kursi, "ah!! lain kali jangan melakukan hal seperti ini lagu! kau tahu setengah matinya aku takut jika ada orang-orang dikampus yang melihat kita?!"

"Kan itu sebabnya aku menjemputmu disini, jauh dari kampus dan kerumunan orang." Ucap Seokjin seraya memasang sabuk pengaman nya, "kanapa kita tidak makan diluar saja sih? Bukankah tadi pagi kau bilang kalau bahan makanan dirumah sudah hampir habis?"

Jian terdiam sejenak, mengingat bahwa memang tak banyak bahan makanan tersisa saat tadi pagi ia melihat isi lemari pendingin. Bahkan tadi pagi mereka hanya makan semangkuk nasi dan telur gulung karena memang tidak banyak yang bisa dimasak, "kalau begitu bagaimana kalau kita pergi ke swalayan membeli kebutuhan rumah? Setelah itu kita beli teoppoki untuk menganjal perut, lalu makanan utamanya tetap aku yang masak, bagaimana?" tawar Jian.

Seokjin berpikir sejenak, kemudian tak lama sudut bibirnya terangkat bersama sebuah anggukan, "oke, kita jalan sekarang?"

Pun Jian balas mengangguk, tersenyum pada pria yang mulai menyalakan mesin mobilnya dan bergerak membelah jalanan.

****

"Anna, kumohon jangan!"

Taehyung kembali menarik paksa tangan Anna, mencoba menghentikan langkah wanita itu agar tak bersikap gegabah dengan ide gilanya yang hendak menemu Seokjin. Membuktikan dengan mata kepalanya sendiri perihal ucapan Taehyung tempo hari.

"Anna, kumohon!" sekali lagi Taehyung berucap dengan suara lirih memohon, meski wanita yang kini mungkin telah kehilangan kendalinya sama sekali tak berniat menggubris ucapan Taehyung, padahal pria itu sudah berkali-kali memintanya untuk tak melakukan hal gila yang bisa membuat semua keadaan menjadi semakin kacau.

"Taehyung, lepaskan aku!" Anna menarik paksa tangan nya dari genggaman Taehyung. Tungkainya tak gentar meski berkali-kali harus terhuyung karena Taehyung yang terus menerus mencoba menghentikan langkahnya, menarik kasar tangan nya, bahkan berteriak padanya. Padahal setahu Anna, selama mengenal Taehyung, pria itu adalah pria paling lembut yang pernah Anna tahu, bahkan lebih lembut ketimbang pria yang di cintainya sekali pun.

"Anna, aku yakin kau pasti tahu bahwa tindakanmu ini tidak benar, kan? Kau pasti mengerti kan seperti apa akhir dari kegilaanmu? Tidak akan ada yang bisa kau dapatkan, terlebih saat kau menemui Jin hyung dengan penuh emosi."

Anna yang cepat memacu tungkainya lantas berhenti, di ikuti Taehyung yang juga menghentikan langkahnya tepat dibelakang Anna. Wanita itu memutar tubuh, menatap tajam pada Taehyung dengan napas terengah—percampuran lelah juga emosi yang menjadi satu, "itu sebabnya aku harus memastikan semuanya sendiri, Tae. Aku harus tahu apakah benar jika sekarang aku memang sudah tidak ada artinya dalam hidup kakakmu. Aku tidak bisa hanya percaya dari apa yang kau katakan. Bisa saja semua yang kau katakan itu salah. Bisa saja wanita yang kini bersama Jin hanya wanita yang singgah sesaat saja di hidupnya. Bisa saja Jin menunggu aku kebambali, atau bisa saja—"

"JUNG ANNA!!!"

Taehyung berteriak begitu nyaring. Suaranya menggema disepanjang koridor apartemen tempatnya dan Seokjin tinggal. Bahkan Anna yang semula terlihat keras pun menjadi diam, lemas ketika mendengar Taehyung membentaknya dengan sangat keras, beruntunglah karena koridor apartemen sangat sepi, jadi tidak ada siapapun yang melihat perdebatan mereka.

"Tae—Taehyung-ah." Anna terbata. Rungunya benar-benar kaku mendapati Taehyung yang terlihat menakutkan dimatanya. Bahkan kilat air mata mulai nampak dipelupuk mata Anna.

Taehyung menarik napas panjang. Melihat wanita dihadapan nya nampak terkejut membuatnya jadi merasa bersalah. Ia lantas meraih jemari Anna dan menggenggamnya lembut. Menatap Anna dengan mata yang kini telah kembali teduh, "maafkan aku," katanya dengan suara lirih, "aku hanya tidak ingin melihatmu terluka, Anna-ya. Mengertilah, aku melakukan semua ini karena aku ingin melindungimu. Aku ingin melindungimu dari rasa sakit yang mungkin kau dapatkan setelah bertemu dengan Jin hyung."

Anna menggeleng lemah. Air mata perlahan turun membasahi kedua pipinya. Luka itu bahkan sudah menyayat hatinya sebelum Anna mengetahui kebenaran dari ucapan Taehyung, "aku bahkan sudah terluka sejak aku meninggalkan nya. Jadi kurasa aku akan terbiasa dengan rasa sakit yang kau maksud itu, Tae."

"Ani, rasa sakit itu tidak akan sebanding dengan rasa sakit saat kau tahu bahwa kau tidak lagi ada dalam hidupnya. Kau hanya masa lalu yang sudah terkubur dalam hidup Jin hyung, An. Jadi kumohon mengertilah!" Taehyung meremas kuat jemari Anna, mencoba mendestroksi pikiran Anna agar wanita itu mengerti posisinya saat ini, "semuanya sudah berubah, Anna-ya. Jin hyung sudah menemukan wanita yang membuatnya bahagia, dan aku tahu kalau Jin hyung mencintai gadis itu. Jadi suadah saatnya kau melepaskan Jin hyung dan mendapatkan kebahagiamu, An."

Anna terisak. Daras air matanya luruh bersama sesak yang coba diuraikan. Tungkainya lemas, tubuhnyaa bergetar hingga pada akhirnya menjatuhkan diri kedalam pelukan Taehyung. Meremas kuat ujung kemeja Taehyung seolah mencari kekuatan untuk bertahan dalam nyeri yang entah bagaimana menjabarkan nya. Terisak lirih dipundak Tehyung dengan suara teredam, namun siapapun pasti tahu bahwa wanita itu tengah berada dalam ujung keputusasaan, "berapa kalipun aku berpikir untuk melepaskan Jin, mencari kebahagiaanku seperti yang kau katakan. Pada akhirnya aku tetap gagal, Tae, karena aku menyadari bahwa kebahagianku adalah Kim Seokjin. Satu-satunya orang yang kubutuhkan dalam hidupku adalah dirinya."

Taehyung menghela napas dalam. Hatinya sama nyeri saat melihat wanita yang pernah begitu ia cintai menangis pilu. Kepalanya pening saat semua kejadian masa lalu antara dirinya, Anna, dan Kim Seokjin berputar, seolah memaksa Taehyung untuk mengakui bahwa semua kekacauan diantara mereka adalah akibat dari ke-egoisan nya, "maafkan aku, An. Ini semua salahku." Ucapnya seraya mengusap lembut pundak Anna. Mencoba memberi ketenangan lewat sentuhan tulus nya, "suatu saat nanti aku pasti akan memberi kebahagian yang kau butuhkan, An. Kebahagian yang bukan berasal dari Jin hyung ataupun diriku."

****

Sudut bibir Jian terangkat tipis. Matanya terpaku tak bosan menatap pria didepan nya yang tengah mencoba menyusun beberapa kantung belanja agar dapat terapit seluruh pada tangan kekarnya, "bisa tidak? Kalau tidak bisa berikan sebagian nya padaku?" Jian bertanya untuk kesekian kali, meski dirinya sudah berkali-kali mendapat penolakan karena si pria keras kepala itu ingin membawa delapan kantung belanjaan dengan kedua tangan nya sendiri.

Tapi sepertinya kali ini pria tampan itu menyerah. Meletakan lima kantung belanjaan yang sudah tersusun rapi ditangan nya kedalam bagasi mobilnya dengan hembusan napas yang terdengar kesal, "yasudah." Katanya sambil menatap Jian dengan wajah cemberut.

pria itu—Kim Seokjin lantas mengambil dua kantung belanja paling ringan dan memberikan nya pada Jian dengan tidak rela, "kau bawa itu saja!"

"Ah, lagi! Kalau hanya dua kantung ringan seperti ini kau tidak akan bisa membawa sisanya." Kemudian Jian mengambil dua kantung lain berisi sayuran dari dalam bagasi, "biasanya juga aku bawa sebanyak ini saat belanja kebutuhan rumah. Lagi pula apasih yang sebenarnya kita beli sampai jadi sebanyak ini?" tanya Jian heran.

Seokjin kembali mendesah dalam. Wajahnya cemberut, tangan nya ogah-ogahan menjinjing sisa kantung belanja dari dalam bagasi, "tapi kan kau melakukan nya sebelum menjadi kekasihku. Jadi sekarang berbeda—Kim Jian adalah miliknya Kim Seokjin, jadi aku yang seharusnya menggantikanmu membawa semua ini."

Jian menahan napas sejenak. Memastikan perutnya tidak mual dan berakhir dengan memuntahkan teoppoki dan sundae yang tadi mereka makan setelah mendengar ucapan Seokjin, "auh, sudah berapa kali sih kukatakan, jangan bersikap berlebihan! Kim Jian kekasihmu ini masih Kim Jian mahasiswamu, pembantu dirumahmu, dan itu tidak akan berubah!!!"

"Yaa, kau memang masih mahasiswaku, tapi kau bukan pembantuku. Lagi pula sejak awal aku tidak pernah menganggapmu sebagai pembantu, aku itu memandang rendah  orang hanya dari pekerjaan nya tahu."

Jian terdiam. Matanya menatap Seokjin dengan pikiran yang melayang pada masa awal keterlibata mereka. Memang benar, Seokjin memang tak pernah menganggap dirinya rendah. Dia bahkan tidak pernah sekalipun memperlakukan Jian sebagai seorang pembantu rumah tanggga nya. Ia memperlakukan Jian dengan wajar, meski terkadang ada sikap atau ucapan Seokjin yang membuatnya kesal—tapi akan kembali lagi, Seokjin memang pada dasarnya adalah pria yang baik, "iya sudah, maaf karena bicara begitu. Kalau begitu ayo kita—oh!!!," Jian mengacungkan jari telunjuknya ke suatu arah, "bukankah itu Taehyung? Dengan siapa itu?"

Seokjin mengikuti arah telunjuk Jian dan menemukan Taehyung  yang tengah berjalan sambil merangkul pundak seorang wanita menuju salah satu mobil yang terparkir diujung besmen apartemen mereka, "hm, itu Taehyung. Tapi siapa wanita itu?" tanya Seokjin dengan lantas memicingkan matanya mencoba melihat wanita yang dirangkul Taehyung dengan lebih jelas, "seperti tidak asing. Apa itu kekasihnya?"

"Hah? Jadi Taehyung punya kekasih? Siapa? Apa kau mengenalnya? Apa dia cantik?" cecar Jian, kemudian kembali mengamati presensi Taehyung dengan gadis misterius itu, "wajahnya tidak kelihatan, kenapa tubuh adikmu itu kekar sekali sih sampai menghalangi gadis itu?" ucapnya sambir terus mengamati Taehyung dan wanita misterius itu dengan penasaran.

Sedangkan kekasihnya menatap tajam sambil mendecih, "kenapa jadi kau yang heboh sekali kalau Taehyung punya kekasih? Kenapa, kau tidak suka kalau ternyata Taehyung sudah punya seorang kekasih?"

"Aigoo, memang kapan aku bilang begitu? Aku hanya penasaran, kalau memang Taenyung punya kekasih, seperti apa wanita yang bisa mendapatkan pria setampan adikmu itu?"

"Jadi merutmu Taehyung itu tampan?"

Jian mengangguk tanpa ragu, "Tentu saja. Bahkan aku jamin kalau semua wanita di dunia ini akan mengakui ketampanan Taehyung." Ucap Jian bersemangat.

Seokjin lantas menunjuk dirinya, "lalu aku?"

"Kau? Kau kenapa?"

"Aku tampan tidak?"

Jian tertawa geli melihat tingkah pria dewasa dihadapan nya itu, "sejak kapan dosen pengampu mata kuliah kimia yang terkenal tampan dan penuh wibawa ini menjadi pria kekanakan yang membandingkan diri dengan adiknya sendiri?" tawa Jian kembali menguar.

Sedangkan Seokjin malah mendecak sebal, "sudah jangan di jawab! Dan juga jangan jadi orang yang ingin tahu urusan orang lain!" ucapnya dengan nada kesal.

"Orang lain?" Jian melirik sekilas pada Taehyung yang sudah masuk kedalam mobil bersama wanita tadi, "maksudmu Taehyung? Bagaimana mungkin dia jadi orang lain? Dia itu adikmu, adik dari kekasihku. Jadi apa salahnya kalau aku ingin tahu lebih banyak tentangnya."

Seokjin lagi-lagi menghela napas panjang. Pria itu tiba-tiba saja menjadi diam dan tak berminat menangapi Jian. Ia lebih memilih menutup bagasi mobilnya dan menggenggam tangan Jian lantas mengambi langkah.

Sedangkan Jian mengikuti langkah Seokjin. Ia memperhatikan kekasihnya yang tiba-tiba saja jadi terlihat lesu. Jian jadi merasa tidak enak karena dirinya pasti telah salah berucap, atau ada perkataan nya yang membuat Seokjin merasa tersinggung, "kau marah ya?" tanya Jian.

Seokjin tidak menjawab. Ia hanya tetap berjalan sambil menggandeng tangan Jian.

"Seokjin-ssi, aku bicara denganmu."

"Tidak." Jawab Seokjin singkat
.
"Bohong, kau marah. Buktinya tiba-tiba kau jadi diam begitu. Kau marah kan?"

"Tidak, tidak marah."

Jian menghentikan langkahnya, tentu saja membuat Seokjin ikut berhenti saat genggaman tangan Jian terlepas, "benar, kau marah." Katanya dengan yakin.

Seokjin menatap Jian. Ia menghela napas sebelum mengambil satu langkah mendekat pada gadisnya, "sejujurnya aku tidak suka kau menaruh banyak minta pada Taehyung." Ucap pria itu jujur.

"Kenapa, dia adikmu."

"Iya, aku tahu dia adik ku. Tapi kau sendiri mengerti betul kan bagaimana hubunganku dengan nya. Kau tahu hubungan kami tidak seperti hubungan saudara sebagaimana seharusnya. Aku dan dia ti—"

"Baiklah." Ucap Jian menyela perkataan Seokjin, "aku akan lebih memperhatikan jarak ku dengan Taehyung. Tapi aku juga tidak bisa bersikap acuh padanya. Terlepas dia adikmu atau bukan, Taehyung baik padaku, dan itu sudah cukup menjadi alasan untuk tetap bersikap baik padanya." Jian meraih tangan Seokjin dan menggenggamnya, "lagi pula aku tahu kau juga perduli padanya. Jadi anggaplah aku sebagai alat untuk menunjukan keperdulianmu padanya."

"Ji, aku bukan nya perduli padanya, aku hanya—"

"Iya iya, terserah kau saja. Tapi ingat, setiap kali kau ingin mengetahu atau melakukan sesuatu untuk Taehyung, kau bisa mengatakan nya padaku, biar aku yang akan menyampaikan keperdulianmu padanya."

"Tapi, Ji, aku—"

"Sudah ayo masuk! Kubuatkan sesuatu yang lezat untukmu."

[]

Aku kembali...

Very fast publish untuk menebus rehatku berbulan-bulan.

Oh ya, aku mau cerita sedikit ya disini. Jadi beberapa waktu yang lalu ada yang minta aku untuk buat next story dengan tokoh nya member BTS dipasangkan dengan salah satu member girl grup, dan kemudian aku say no, kenapa? Aku jawab disini ya.

Pertama, aku bukan tipikan penulis ataupun pembaca yang suka dengan cerita yang menggunakan tokoh sesama member idol.

Kedua, alasanku gak akan buat cerita dengan kedua tokoh berasal dari dunia nyata adalah; aku lebih suka mevisualisasikan tokoh wanita dengan imajinasi sendiri. Begitupun aku ingin membuat imajinasi pembacaku menjadi tidak terbatas. Aku ingin membuat kalian juga bebas memvisualisasikan tokoh dengan siapapun. Entah itu idol wanita favorit kalian, artis favorit kalian, atau bahkan mevisualisasikan tokoh sebagai diri kalian.

Ketiga, kalau aku buat cerita dengan memasangkan tokoh nyata, aku yakin gak semua dari kalian akan pro dengan pasangan yang aku buat.

Nah, jadi begitu alasanku atas permintaan tokoh. Semoga beberapa orang yang menanyakan hal diatas mengerti ya. Btw, kalau kalian sendiri gimana? Lebih suka cerita dengan tokoh wanitanya original cast, atau real cast?


Suddenly Housemate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang