24

966 48 0
                                    

"Ini jatoh adik saya ke got."Jia menendang kaki kakaknya kesal, ya dia tau dia memang berkata seperti itu tapi tidak usah spesifik dengan kata got kan bisa.

Laki laki bertubuh tinggi, putih dan tampan itu terlihat menahan tawanya, namun dia sadar ini bukan waktu yang tepat.

"Terus dia mau mandi disini? Kenapa ga langsung ke rumah?"

"Emm rumah di kunci, Mama, Papa pergi, jadi numpang sini gapapa ya Pak ustad?" Tanya Jia memelas, meskipun dia masih terpesona setiap memandang laki laki berbaju koko tersebut.

"Kakak aja ya. Mau ke rumah saya aja?"

"Lah nanti lo gimana, kan harus jadi Imam?"

"Gampang, udah ayo." Jia tersenyum senang, dirinya tidak menyangka akan masuk ke dalam rumah 'calon suaminya kelak' katakan dirinya gila namun dia memang sangat menanti nanti hal tersebut.

"Seneng heum?"
"Banget kak, gilaaaa."
"Inget pacar lo."
"Udah putus keles."
"Serius?! Mangkanya alo ga boleh pacaran jangan pacaran gece kan putusnya."
"Dihh lo kan tau type gue tuh yang kaya di depan kita ini."

"Bodoamat." Sebuah rumah dengan pagar berlapis dedaunan pun terlihat, pohon cherry menjulang tinggi dan di potong layaknya sebuah payung besar untuk menghalau panasnya matahari. Jia sudah lama ingin memasuki rumah kecil nan asri itu, tapi apalah daya, ustad muda kesayangannya ini adalah anak yatim piatu yang sudah di pastikan sulit untuk bertamu karena dirinya adalah perempuan, mungkin kalau dia laki laki dia akan menginap, tunggu kalau dia laki laki dia tidak mungkin suka dengan laki laki itu bukan?

"Ini kamar mandinya, handuk nanti saya kasih kakak kamu, pakaian..."

"Saya pinjem punya Kakak aja gapapa kan?" Jio melotot mendengarnya, laki laki itu menatap adiknya sangar, bagaimana kalau adiknya terkena kurap? Kutil atau apapun. Suka sih boleh tapi ga gini juga dong!

"Ha? Saya sih gapapa tapi kamu seri---"

"Iya kak Xavier, ini genting ayo kak ambil." Jia masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Xavier lelaki itu masuk ke dalam kamarnya diikuti Jio.

Meskipun umur lebih tua Xavier namun kalau lenyangkut keluarganya Jio tidak akan berbasa basi lagi.

"Lo ga ada panu kan?"
"Enggak lah gila aja."
"Kurap?"
"Enggak astaga, lagian adek lo kenapa sih bisa sampe kaya gitu?"

"Ya seperti kata dia tadi dia nyungsep ke got."

"Apa lo percaya gitu aja?"
"Sebenernya enggak, lo aja bisa berpikir kaya gitu apalagi nyokap bokap kan?" Laki laki itu mengangguk dan menyuruh Jio memilih kaus nya yang akan di pinjamkan pada adiknya itu diiringi suara bersin dari dalam kamar mandi, ya siapa lagi kalau bukan Jia yang bersin bersin.

"Ini aja." Pilihan Jio pun jatuh pada sweater abu abu polos dan celana hitam pendek.

"Serius dia pake celana itu, dia bisa tambah masuk angin." Jio setuju namun dia tidak ingin mengobrak abrik kamar laki laki itu, dirinya sudah terlalu lelah hati dan raga.

"Ini aja." Celana batik yang biasa di gunakan orang betawi pun terpampang, kenapa dia tidak melihat celana itu?

"Kak mana bajunya?" Jia berjalan dengan lincah keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk.

"Jia! Seriously, ini bukan dirumah!"
"Orang aku pake handuk, mana bajunya haa... ha..hacim." Bersin Jia pun kembali terdengar, Xavier menengguk ludahnya dan memalingkan wajahnya bulir bulir air terasa sangat nikmat berada di lehernya.

Sadar lo zinah mata sama anak SMP Vier! Batin Xavier menyadarkan.

"Gue coba cari obatnya di kulkas."
Xavier berjalan keluar kamar meski sulit mengalihkan pandangannya.

"Gile kak kamar suami gue rapih amat ya." Jia mulai memakai celana dari kolong handuk dengan mata entah kemana mana, gadis itu memang sedikit urat malunya itulah sebabnya dia tidak di perbolehkan untuk menginap di rumah teman, ikut persami dan berenang di tempat umum karena bisa membawa petaka belom lagi tubuhnya yang masih SMP itu sangat sangat terbentuk di bagian bokong.

"Suruh gue bebalik badan kenapa sih! Lo juga masih SMP tapi dari tadi ngomongin suami aja, ga bosen? Gue bosen loh sumpah." Jio berjalan kearah pintu kamar berjaga jaga ustad muda masuk.

"Lagian gue 3 bulan ke depan udah SMA kok wajar aja." Jia segera memasang sweater itu dan melepas handuk di dalam tubuhnya, dia memang tidak tahu malu tapi bukan berarti dia akan telanjang bulat di depan kakak.

"Sweater wangi dia banget."
"Lo ambil, gue tampol sumpah."
"Hehe tau aja." Ketukan pintu pun terdengar, Jia menjawab dan segelas air dan satu obat pun terlihat, gadis itu mengucapkan terima kasih dan berbisik pada kakaknya.

"Padahal gue butuhnya pelukable dia loh kak."

"Mau gue tampol daerah mana kira kira?" Untunglah ustad itu sudah kembali ke dapur.

"Suruh dia tampol balik hati gue aja kak."

"Gila! Adek gue gilanya sampe ke inti sel." Jio berjalan keluar kamar tentu diikuti Jia dan saat sampai di halaman Jio menjentikkan tangannya.

"Masuk lagi sana, seragam lo bego, Minta plastik sana." Jia kembali masuk, cukup lama namun gadis itu keluar dengan senyuman dan pipi merona, oke Jio mulai curiga namun lagi lagi bukan saat yang tepat mungkin nanti saat di rumah.

"Makasih ya bro, duluan kita. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam hati hati lo."
"Lebay lo rumah gue gak nyampe 400 meter."

"Awas aja sampe adek lo masuk ke got lagi. Ke hotel lo berdua, rumah gue ga nampung."

"Sialan." Motor pun melaju dengan cepat karena hari sudah hapir berganti.

Yo watsup masis aku kembali.

Enemy (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang