Felix berdecak kesal tatkala ponselnya bergetar. Pasalnya, ia tengah berjuang mencapai kemenangan dalam game-nya kali ini. Tentu rasanya malas menjawab namun takut dikatai tidak sopan. Tetapi pada akhirnya Felix memilih mengabaikan, fokus kepada permainannya.
Sorakan bahagia terlontar begitu saja tatkala seperti biasa tim Felix menang. Felix menyandarkan punggung, menghela napas lega sebelum kembali pada tampilan desktop.
Drrt!
Ah, hampir lupa. Sedari tadi sebenarnya si penelpon tidak mau menyerah, terus menerus menelpon Felix walau tak mendapat jawaban sekalipun. Felix akhirnya meraih ponselnya, meneliti siapa yang menelpon sebelum mengangkatnya.
"Yo, g'day mate!"
Aksen Australia kental memenuhi telinga Felix. Pun Felix tersenyum, membalas sapaan dari pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.
"Kak Chan masih betah di Miami?"
Namanya Christopher Bang namun Felix lebih suka memanggilnya Chan. Chan ini sedang berada di Miami, menuntaskan kuliahnya sekaligus mengelilingi kota itu. Felix dan Chan sudah lama mengenal, mengingat mereka pernah menjadi tetangga.
"Oh jelas masih," kekehan terdengar di seberang sana.
Tentu saja, kekehan dari Chan menular, siapa yang tidak mau berkuliah di luar negeri sekaligus jalan-jalan?
"Kak Chan kapan main kesini?" Felix perlahan melepas headphone-nya, "bawa oleh-oleh sekalian."
"Tinggal bilang kangen kenapa sih, Lix," Felix memutar bola matanya mendengar nada menggoda dari Chan, "tidak perlu beralasan pingin oleh-oleh begitu. Aku tau kok kalo kamu itu tipe mau tapi malu."
Felix memasang wajah jengah walau tidak dilihat oleh Chan, "menyesal aku undang Kak Chan kesini. Sana lah jauh-jauh, cuh."
Selanjutnya Chan terkekeh dan bercerita tentang kesehariannya di Miami. Felix mendengarkan dengan antusias. Sudah lama ia ingin ke Miami sebenarnya, namun keadaan tak memungkinkan untuk pergi kesana. Sesekali tawa terdengar dari bibir Felix, hampir terjengkang dari kursi saking lucunya.
Namun Felix terdiam tatkala kakaknya itu berkata bahwa ia berencana untuk lulus beberapa tahun lebih awal dengan nilai yang tertinggi. Felix tahu bahwa Chan dapat melakukannya, mengingat otaknya yang lebih encer darinya. Pun dirinya mendengar keluhan pasal Chan pernah tak mendapat nilai sempurna lantaran malam itu Chan ketiduran dan tidak belajar untuk ujian.
Ah, aku lupa, Felix tersenyum masam, selain Hyunjin, Mama selalu nyebut-nyebut Kak Chan.
Langkah kaki yang semakin mendekati kamar membuat telinga Felix menjadi waspada. Segera ia memutuskan telepon secara sepihak, mematikan laptop dan menyimpannya di laci, begitu pula yang ia lakukan kepada headphone. Acak, ia ambil buku pelajarannya, membukanya dan berpura-pura fokus mendalami isinya, walau jantungnya kini tengah berpacu dengan napas yang terengah.
Ketukan sempat terdengar sebelum sang mama masuk, membawa nampan di tangan. Senyum terbit di bibir Nyonya Lee sebelum meletakkan nampan berisi camilan di samping Felix. Tangannya membelai surai Felix lembut, mengamati apa yang tengah dipelajari anaknya lalu mengangguk senang.
"Gitu dong, Lix. Belajar."
Felix menyimpan kekesalannya dan hanya terdiam sampai memastikan ibunya benar-benar pergi dari kamarnya. Kemudian Felix menghempaskan punggungnya, meletakkan pulpen secara kasar dan menatap langit-langit.
Drrt!
Ponselnya kembali bergetar namun kini bukan telepon melainkan sebuah pesan.
Chan:
|Kenapa dimatiin, Lix?Felix terdiam membaca pesan dari Chan. Pun dirinya tak memiliki minat untuk membalas, hanya kembali meletakkan ponselnya itu lalu menelungkupkan kepala.
Maaf Kak Chan, kalo Mama tau aku lagi telponan dengan Kakak, pasti ujungnya Mama bakal banding-bandingin aku sama Kakak.
°°°
Malming malming
KAMU SEDANG MEMBACA
Voices ; Lee Felix [✓]
FanficTentang Felix yang berusaha terbebas dari suara-suara yang mengganggunya.