Sembari merangkul dirinya yang semakin kedinginan, Felix sedikit kebingungan mendapati rumahnya dalam keadaan terbuka. Di halaman pun ada dua mobil, padahal Felix hanya punya satu. Kebingungan Felix terjawab saat dirinya memasuki rumah.
Papa pulang ternyata, tiba-tiba saja Felix merasa tidak yakin lagi untuk sejenak.
"Felix!"
Mata Felix membulat ketika dirinya dihujani pelukan oleh sang Mama. Dirinya juga merasa bahwa mamanya itu kini tengah menangis. Perlahan, Felix membalas pelukan sang Mama. Tak lama, hanya sebentar karena setelahnya Felix melepaskan diri, mengusap air mata yang turun di pipi mamanya itu.
"Felix gak papa, Ma," begitu ucapnya, "tenangkan diri Mama dulu, baru Felix mau cerita."
Pandangan Felix beralih ke arah papanya yang segera merangkul istrinya itu, menuntunnya untuk duduk di sofa. Felix lagi-lagi dibuat terkejut, lantaran menenukan sosok Chan yang sedari tadi duduk di sofa. Matanya dingin ketika memandang Felix namun Felix tahu bahwa lelaki yang ia anggap sebagai kakak itu hanyalah khawatir.
"Felix, cerita sekarang," suara berat milik papanya mengalun, "apapun yang mau kamu bicarakan, papa janji gak akan marah ke kamu," lanjut beliau ketika menemukan keraguan di mata Felix.
Felix merasakan bahunya di tepuk, Seungmin rupanya. Pun ketika ia menoleh, ia melihat ketiga temannya mengangguk, seakan memberi semangat kepada Felix. Akhirnya, Felix memberanikan diri untuk duduk di hadapan ketiga sosok yang menunggunya dengan berbagai macam emosi.
"Felix mau jujur sama Mama dan Papa hari ini. Felix udah gak peduli Mama atau Papa mau marah yang jelas Felix udah capek buat nyimpan ini semua sendiri," Felix terdiam sejenak.
Tak lama papanya mengangguk, seakan memberi isyarat kepada Felix untuk melanjutkan.
"Dari kecil Felix tumbuh di lingkungan keluarga yang berkecukupan. Semua yang dibutuhkan pasti terpenuhi dan Felix selalu bersyukur tentang itu.
"Tapi, ada satu yang bikin Felix gak betah berada di keluarga ini. Mama sama Papa selalu bandingin Felix sama anak tetangga, anak dari teman-teman kerja Mama sama Papa, bahkan sampai bandingin Felix sama temen-temen Felix sendiri. Kalian mungkin sebenarnya cuma pingin bikin Felix termotivasi tapi jujur, lama kelamaan Felix mulai ngerasa semuanya berlebihan. Terlebih waktu Papa ngurung aku seharian di kamar dan maksa aku buat belajar 24 jam non stop dan cuma berhenti waktu makan itu bikin aku stress sendiri.
"Jujur Ma, Pa, Felix capek dibandingin terus. Mama sama Papa gak tau tekanan apa yang secara gak langsung Mama Papa kasih ke Felix. Kalian nuntut Felix buat jadi sempurna, padahal masing-masing anak itu beda. Semua punya kelemahan dan kelebihannya masing-masing."
Felix berhenti sejenak ketika merasakan dadanya yang mulai sesak. Selama bertahun-tahun, akhirnya ia berani mengeluarkan semuanya.
"Dua minggu ini berat buat Felix. Entah bagaimana caranya, banyak bisikan-bisikan gak jelas di kepala Felix. Ada yang baik, ada yang buruk. Tapi apa Mama sama Papa tau? Kebanyakan nyuruh Felix buat nyerah, Ma, Pa," napas Felix tercekat ketika akan melanjutkan, "mereka nyuruh Felix buat nyerah sama kehidupan."
Felix menatap mamanya yang mulai menangis lagi. Tanpa sadar dirinya juga ikut menangis sembari bibirnya yang terus berucap.
"Dua minggu itu berat, Ma. Felix gak berani pulang ke rumah karena dapet nilai jelek lagi. Felix gak punya rumah untuk kembali lagi," matanya beralih kepada papanya, "rasanya hampa, kosong."
Kemudian hening menerpa. Hanya isak tangis yang terdengar. Felix pun merasa pundaknya dirangkul, sesekali ditepuk pelan agar tangisnya reda.
"Maaf," kepala Felix tertoleh cepat ke arah papanya, "mungkin maaf aja memang gak cukup menghilangkan beban yang selama ini kamu pikul. Tapi Felix, masih bisakah jika papa dan mamamu ini meminta maaf? Masih ada tempat untukmu memaafkan kami?"
Pertama kali dalam hidupnya Felix melihat papanya menangis. Watak keras dari papanya itu membuat Felix percaya bahwa papanya tidak bisa menangis, hatinya susah tersentuh. Namun hari ini, melihat watak keras yang terkikis itu membuat Felix percaya bahwa papanya sekarang benar-benar tulus meminta maaf. Pun mamanya juga. Walau mamanya sedari tadi tidak berucap, dari matanya Felix tahu bahwa mamanya memiliki perasaan yang sama seperti papanya.
"Kenapa Felix gak maafin Papa sama Mama di saat kalian benar-benar tulus?"
Kemudian ia segera masuk ke dalam pelukan papanya. Papanya juga membawa sang Mama ke dalam dekapan dan ketiganya menangis di sana, saling berbisik permohonan maaf tiada henti.
"Setelah ini, Felix bebas untuk melakukan apapun," Felix lupa kapan terakhir kali papanya menepuk bahunya, "asal bukan sesuatu yang buruk, papa akan dukung. Apapun itu."
Hari ini, tercatat dalam memorinya, Felix merasakan bahwa rumah-nya telah kembali.
°°°
Anu rada aneh apa ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Voices ; Lee Felix [✓]
Fiksi PenggemarTentang Felix yang berusaha terbebas dari suara-suara yang mengganggunya.