xv

1.5K 286 24
                                    

Lama tidak melihat Mama, Felix terdiam di depan pintu ketika dirinya menemukan sosok ibunya itu terduduk di ruang tengah. Seperti biasa, beliau tengah menikmati tehnya. Namun tatapan beliau menajam diikuti dengan helaan napas begitu matanya bertemu dengan Felix.

"Dari mana?" Nyonya Lee menunjuk pakaian Felix dengan dagunya, "seragamnya mana? Kenapa cuma pakai kaos oblong begitu?"

Felix bungkam.

"Kenapa, Lix?" ibunya bertanya dalam nada yang tidak mengenakkan, "mama akhir-akhir ini ngasih kamu keringanan, mama sengaja dinas luar, berharap kamu bisa belajar lebih leluasa tanpa adanya mama. Mama tau kalau kamu tertekan kalau ada mama. Tapi kenapa nilai kamu malah tambah jelek? Mama kurang lama pergi?"

"Gak gitu, Ma..." Felix bingung sendiri mau menjawab apa, "Ma, aku udah berusaha sekeras yang aku bisa. Tapi coba Mama liat lebih teliti lagi, cuma pelajaran matematikaku yang kurang, Ma. Mama liat pelajaran lain dong, bahasa Inggris contohnya. Bagus banget loh itu."

"Gimana gak bagus," mamanya tersenyum sepat, "kita memang dari negara yang berbahasa Inggris. Kamu harusnya pinter di matematika, Lix. Mama tau kamu pinter komputer, kenapa matematika kamu gak pinter, sih?"

"Desain, Ma, desain," Felix menghela napas lelah, "memang ada beberapa coding yang Felix paham. Tapi gak semua matematika harus Felix kuasai, Ma. Kriteria pinter gak cuma di matematika aja."

Kemudian hening, mamanya tidak menjawab apapun lagi. Pun Felix hanya menatap ibunya itu sendu. Felix sayang sekali dengan mamanya, namun ia entah mengapa selalu merasa sedih dan tidak berguna jika mamanya itu mulai menuntutnya untuk mendapat nilai bagus.

"Sejak kapan nilai bagus dan punya uang banyak jadi kebanggaan manusia, Ma?" lagi, Felix menghela napas tatkala tidak mendapat jawaban dari ibunya, "Felix ke kamar dulu."

Akhir-akhir ini, Felix sudah terbiasa dengan lampu kamar yang mati. Ia langsung menghempaskan dirinya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya.









"Lix, nyaman gitu temenan sama anak-anak pinter?"

"Maksudnya apa, ya?"

"Gak ngerasa iri? Gak ngerasa kalau kamu paling terbelakang? Gak ngerasa kalau kamu paling bodoh?"

"Apa sih."

"Ya siapa tau aja loh, Lix. Karena ya, aku liat Hyunjin biar berandal gitu nilainya sempurna terus, rangking dua, satu, dua, satu. Seungmin, mah, gak usah ditanya kali, ya. Kayaknya gennya emang udah pinter. Si Jisung juga, akhir-akhir ini aku liat nilainya bagus. Paling sebentar lagi nyusul dua temenmu yang lain, jadi rangking tiga."

"Maksudnya apa sih, brengsek. Ngomong aja gak usah muter-muter."

"Kamu gak merasa useless? Ups, maaf, kata-kataku kasar banget kayaknya."












"Brengsek."

Semakin Felix memejamkan mata, suara-suara itu semakin terdengar. Pun dirinya tak bisa menghindari, karena ia pun mulai merasakan hal yang sama: menjadi sosok paling terbelakang di antara teman-temannya yang lain.

°°°

Mumpung bebannya udah lepas, kenapa gak updet ye kan?

Voices ; Lee Felix [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang