Waktu telah menunjukkan jika hari beranjak sore. Gadis berkerudung yang sudah rapi dengan jaket hangatnya masih menatap pantulan diri di cermin. Entah sesuatu apa yang membuatnya diam bergeming menyaksikan wajahnya tanpa ekspresi.
Ia sedikit menunduk dan melihat sebuah tiket pertunjukan yang diberi Hyunsik beberapa hari lalu. Ia menghela nafas dalam, pikirannya bimbang antara 'ya' atau 'tidak'. Hatinya ingin bergerak tapi pikirannya tak sejalan.
Cukup lama gadis itu berdiam mencari keputusannya sendiri. Hingga sepatah kata basmalah mengiringinya meraih tiket itu dan tas selempang. Dengan keyakinan gadis itu melangkah meninggalkan kamar.
(***)
Gadis berkerudung itu berjalan perlahan menyusuri karpet merah di mana sisi kanan dan kiri telah terisi penuh oleh jajaran penonton. Langkahnya terhenti saat lampu penerangan seketika meredup dan mati, ia melihat sekeliling yang sunyi.
Satu cahaya tiba-tiba muncul dari salah satu sisi panggung yang berada di depan sana. Di sana ada seorang pria duduk di depan sebuah grand piano hitam. Perlahan tangannya menekan tuts dan menghasilkan nada yang terdengar lembut.
Mengikuti alunan lembut itu lampu latar yang sebelumnya mati perlahan menyala dengan sinar redup. Gadis itu masih berdiri di tempatnya dan mencerna setiap nada yang keluar.
Adagio Sostenuto, lantunan lembut itu terisi penuh dengan ratapan yang menyedihkan. Gerak-gerik sang pianis mengisyaratkan tentang sekelumit rasa cemas dan kegundahan. Ya, pria yang duduk memainkan piano itu sungguh meluapkan seluruh emosinya pada permainan. Dia membuat seluruh penonton seolah masuk dalam dunia sepinya yang berisi sebuah penantian dan harapan.
Nada lembut itu berakhir, dia mengambil jeda sejenak dan melihat ke arah jajaran penonton yang memenuhi kursi. Wajah sedihnya berubah menjadi senyum saat ia mendapati seseorang berpenutup kepala yang tak asing tengah berdiri di sana.
Seutas senyum dan satu kedipan mata singkat seolah isyarat sebuah rasa terima kasih untuknya yang telah datang. Ia merasa lebih baik dari sebelum ini dan melanjutkan permainan pianonya.
Allegreto, terdengar lebih ceria di banding sebelumnya. Rupanya sang pianis turut merasakan keceriaan itu di samping mengikuti lembar partitur dan pemuas para penontonnya yang haus seni. Rasa lega muncul saat ia mendapati kehadirannya.
"Moonlight Sonata ..."
Gadis itu bergumam pelan saat menyadari permaian sang pianis itu. Ingatannya kembali pada hari di mana ia sibuk berkutat dengan piano dan lembar partitur, sama dengan pria yang sedang berada di atas panggung itu.
Seperti seseorang yang teramat menyukai sesuatu lalu menguburnya sedalam mungkin. Berusaha melawan waktu untuk melupakan dan mengabaikan hal-hal yang berkaitan. Namun, ketika diri mulai membaik. Hal yang terkubur itu muncul ke permukaan dan hadir sebagai goresan luka, barangkali itulah yang disebut mimpi tak tercapai.
Air mata gadis itu terlepas dari bendungan. Ia ingin menahan dan tetap melangkah untuk duduk di kursi kosong yang telah melambaikan tangan. Akan tetapi, langkahnya memberat dan air mata itu muncul lebih cepat daripada perkiraan. Hatinya berkecamuk tak karuan. Ia memutuskan berbalik haluan dan meninggalkan ruang yang masih mengalunkan Moonlight Sonata.
Presto Agitato, melihat sosoknya meninggalkan ruang pertunjukan membuat fokus pria pianis itu terpecah. Ya, ia ingin menghentikan permainan saat itu juga dan mengejar langkahnya. Namun, ia berusaha mengatur hatinya dan menetap hingga akhir.
Dia meningkatkan fokusnya dan melihat sekilas partitur musik itu. Allegreto belum berakhir, ia mempercepat tempo dan beralih pada Movement III. Dia mengontrol pikirannya dengan baik agar tak mengacaukan permainan.
Orang tak perlu tahu betapa gusarnya pianis itu. Orang cukup tahu cara menilai penampilannya dan tak menyadari kesalahannya. Tunggu sebentar, ini akan selesai lebih cepat dari dugaan.
(***)
Gadis itu duduk di salah satu anak tangga yang terdapat di luar gedung Seoul Arts Center. Dia melipat kedua tangan di atas lutut dan membenamkan wajahnya. Punggungnya yang terguncang ringan mengisyaratkan jika dia sedang menangis.
Merasakan dada yang sesak mengingat mimpinya yang telah ia kubur dalam-dalam dan mencuat lagi dengan rasa iri yang menggebu. Air mata adalah cara ia menguapkan semua rasa itu. Semua tentang mimpi berdiri di atas panggung dan memainkan piano, membuat lagu, bahkan mengajari orang-orang bermain piano. Ya, mimpi itu sekedar mimpi dan adakalanya itu tak tercapai.
"Tidakkah kau lelah menangis seperti itu, Soohee-ya?"
Suara itu berhasil tertangkap oleh kedua gendang telinga gadis itu. Ia mengusap air mata yang tak terbendung itu dengan punggung lengannya dan mendongakkan kepala. Didapatinya sosok tak asing itu duduk di sampingnya dengan wajah penuh pertanyaan.
Melihat mata Soohee yang memerah dan masih menahan tangis, pria itu menangkup kedua wajahnya dan mengusap lembut mata gadis itu agar airnya tak jatuh.
"Jangan menangis." Ucapnya seraya menyipitkan kedua matanya tanda bahwa ia tersenyum di balik masker yang menutup wajahnya.
"Oppa ... kenapa kau di sini?"
Dia menurunkan kedua tangannya dan menghela nafas. Ia merogoh saku coat miliknya dan mengeluarkan sesuatu,"aku ingin membelikanmu permen"
"Oppa ... "
"Ayo pergi. Kupikir di sini udaranya terlalu sesak. Haruskah kita ke Hangang? Bukan, kau belum makan? Kalau begitu ayo makan." Putusnya lalu bangkit dari duduknya dan menarik serta gadis itu.
(***)
Waktu telah beranjak semakin malam, bahkan arloji milik Hyunsik telah menunjukkan pukul 21:15 KST. Dia dan Soohee berjalan sejajar di jalanan kompleks tempat tinggal gadis itu. Di sini terlihat sepi, barangkali karena ini sudah malam.
"Soohee-ya, jangan menangis lagi ... "
"Ma'af. Kau selalu melihatku menangis, padahal aku berusaha menyembunyikannya"
Ma'af? Kata itu lagi? Hyunsik menghentikan langkahnya dan menahan kedua pundak gadis itu. Ia menatap jauh ke dalam mata gadis itu.
"Ini adalah perintah. Dan berhentilah mengatakan ma'af"
"Waeyo? Apa meminta ma'af adalah kesalahan?"
Pria itu bungkam. Bisa dikatakan jika dirinya letih mendengar kata ma'af dari gadis itu. Dan setiap air mata yang muncul dari kelopak matanya ibarat sebuah luka dalam dada. Dia semakin menatap lamat-lamat kedua mata Soohee yang sulit tertebak.
Tidakkah dia merasakan apa yang sedang pria itu rasakan? Dada yang bergetar dengan cepat. Rasa senang berlebih saat bertemu dan kenyamanan saat bersama. Benar, mungkin Soohee belum menyadari semuanya. Menahan sedikit lebih lama tidak akan masalah.
Pria itu melepas kedua bahu Soohee dan mengalihkan pandangannya,"hanya ... aku tidak mau melihatmu terus merasa bersalah seperti itu" ucapnya lalu kembali melangkahkan kaki mendahului gadis itu.
Moonlight sonata, itu seperti sebuah cerita nyata. Namun, sedikit berbeda karena ini bukanlah akhir dari presto agitato. Perasaan ini seolah masih berada pada adagio sostenuto, tentang kepedihan dan ratapan.
Akan tetapi hatinya menolak hal itu. Dia tidak menyedihkan, hanya perlu menunggu sedikit lebih lama. Ya, sedikit lebih lama. Mencari waktu bersahabat dan membuat pengertian padanya tentang perasaan panjang yang telah tersimpan sekian lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTUMN ☑
FanfictionSuara ketukan sepatu hitam yang dikenakan pria itu tedengar senada dengan langkah kakinya yang hati-hati. Ia menyusuri setiap ruang rumah rapuh yang telah lama ditinggalkan, barangkali hanya ada tikus dan laba-laba. Pencahayaan yang minim tak membua...