“AAAKKKHHHH!!!!!!!”
Gadis berambut panjang itu memekik sangat keras di salah satu sudut gedung Universitas. Dia duduk bersimpuh di bawah lantai yang terdapat tetesan darah. Ya, darah itu berasal dari pelipisnya. Tangisnya pecah, dia mendongakkan kepala dan menatap sayu gadis berkerudung yang berdiri dihadapannya dengan wajah ketakutan.
Gadis berkerudung itu memundurkan langkahnya perlahan, dia masih beradu pandang dengan gadis berambut panjang yang tengah menangis dengan wajah acak-acakan dan terdapat beberapa luka.
“Ha... Ha... In... bukan... tidak...”
Langkahnya tercekat saat merasakan punggungnya menabrak sesuatu. Dia pun berbalik dan mendapati banyak pasang mata tertuju padanya. Hal itu membuatnya semakin ketakutan. Lagi, dia memundurkan langkahnya.
“Bukan... bukan... tidak... bukan... aku... aku...”
Bibirnya mengatup tertatih-tatih. Rasa takut yang menyelimuti dirinya terlalu besar, dia kehilangan akal terlebih saat seluruh pasang mata itu menatapnya tajam.
“Kenapa kau melakukan ini? Aku meminta ma’af atas perlakuanku dan kuharap kita berteman, tapi... ternyata kau menyimpan dendam padaku... haruskah aku berlutut padamu?” ungkap gadis yang masih menangis itu.
Menyadari posisinya yang tersudut, dia semakin tak karuan. Dirinya sangat ingin mencari celah dan berlari sekeras mungkin meninggalkan kerumunan, namun itu sekedar ekspetasi seperti debu yang tertiup angin. Tak ada yang dapat dilakukannya selain meneteskan air mata dan bergumam ketakutan.
(***)
Suasana suram menyelimuti ruang komite disiplin. Di sana tampak gadis berkerudung itu duduk bersimpuh menghadap banyak pasang mata yang menusuk tajam seolah tengah memburunya.
Di sisi gadis itu, berdiri sosok Hyunsik dengan perawakan tegapnya, dia tak gencar menatap seluruh pasang mata itu meski pikirannya diselimuti oleh kegusaran yang bercampur emosi.
Amarahnya kian memuncak kala matanya melihat gadis berambut panjang yang tengah menangis di rengkuhan sang ibu. Namun, bukan itu yang menjadi pusat amarahnya melainkan sosok pria paruh baya yang tersenyum sinis di samping gadis itu.
"Hyunsik-ssi, kenapa kau begitu mempercayainya? Kurasa sikapmu itu berlebihan. Gadis sepertinya harus di beri pelajaran berharga..." tukas pria paruh baya yang sejak tadi menjadi sorotannya.
"Aku lebih mempercayainya,"
"Semua alibi itu sudah sangat kuat. Tak perlu diragukan lagi, semua bukti juga mendukung. Itu sudah bagus, Lee Soohe dikeluarkan daripada keluarga Shin Ha In menyeretnya ke pengadilan." Sela salah seorang yang menjabat sebagai komite disiplin itu.
Hyunsik menghela nafas dalam. Benar, alibi gadis itu sangat baik bahkan tak menemukan celah kebohongan terlebih saat air mata yang senantiasa mengucur.
"Tapi, apakah tidak ada jalan yang lebih bertoleransi? Soohee mendapat kasus bullying dari gadis itu sebelumnya, bahkan ini bukan pertama kalinya. Tapi, jika Soohee membalas, bukankah itu impas?"
"Jadi kau menganggap ini balas dendam?" tanya wanita paruh baya si komite disiplin lalu bangkit dari duduknya membawa selembar kertas.
"Dia telah menerima hukumannya, dan sepakat untuk meminta ma'af secara baik-baik. Tapi, rupanya gadis itu terlalu egois..."
Ya, Hyunsik menatap selembar kertas sepakatan itu. Hal itu semakin membuatnya kehabisan kata-kata. Dia beralih menatap komite disiplin itu dengan segurat permohonan,"tidak bisakah itu berlaku juga untuk Lee Soohee?"
"Tidak. Gadis itu harus tetap di keluarkan atau aku akan mengirimnya ke sel tahanan." Putus wanita paruh baya yang tengah merengkuh Ha In.
Baru saja dirinya hendak membuat opini yang lain, seseorang yang baru muncul mengurungkan niatnya untuk berucap. Kehadirannya membuat seluruh pasang mata beralih.
"Benar, adikku pantas di hukum. Cukup beri dia toleransi dengan surat pindah, dan beri waktu sepekan untukku mengurus semuanya."
"Jadi kau walinya?"
"Iya, Nyonya. Dia adalah adikku dan tanggung jawabku, tolong berilah ma'af..." ucapnya sembari membungkuk cukup lama.
"Cih!! Pantas saja, ternyata dia tinggal bersama seorang pria..." decih wanita paruh baya itu.
"Ne, saya sungguh meminta ma'af dan berjanji akan mendidik adikku lebih baik..." rendahnya lagi.
Kerendahan seperti itu sontak membuat hati Hyunsik terasa diiris tajam. Ia tak menyangka dua kakak beradik itu begitu mudah merendah.
Mendapatinya yang mulai tersulut emosi, pria paruh baya itu bangkit dari kursinya dan menghampiri Minhyuk yang masih membungkuk. Dia mengusap pelan punggung lelaki itu dan menyuruhnya berdiri tegak.
"Baiklah, kuberi waktu sepekan untuk mengurus surat pindahnya. Tapi, pastikan kau benar-benar mendidik adikmu dengan baik. Paham, Nak?"
"Ne, gamsahamnida. Aku sungguh bberterimakasih, Tuan." Pria itu membungkuk kembali beberapa kali mengutarakan rasa terima kasihnya.
Namun, tak serupa dengan ekspresi Hyunsik yang kian naik pitam. Ia sebisa mungkin meredamnya dan berusaha tetap tenang.
(***)
"Apa aku pernah mengjarimu untuk melakukan itu? Hmm? Apa pernah! Lee Soohee, kau mendengarku!!! Jawablah!!!!!" Sentak Minhyuk pada adiknya yang hanya terdunduk dan terisak.
"Kenapa diam?" Pria itu mengguncang kasar bahu adiknya,"kau lupa siapa dirimu? Kau lupa kodrat muslimmu? Argghhh!!!!!"
Gadis itu tetap diam. Minhyuk melepas bahu adiknya dan mengerang sekeras mungkin. Dia mengacak kasar rambutnya yang memang tak rapi lalu menjatuhkan diri di atas lantai bersandar pada meja counter.
Dia menekuk lututnya dan menopang kepala di atas lengan tangan yang terlipat. Punggungnya berguncang, tanda jika pria itu terisak.
Kata 'gagal' seolah memenuhi kepalanya. Gagal menjadi pengganti ayah dan ibu, gagal mendidik amanah orang tuanya, dan gagal akan segala hal.
Melihat sang kakak yang meringkuk seperti itu membuatnya sangat merasa bersalah. Dia melangkah mendekat dan memeluk erat sosok kakaknnya.
"Ma... ma'afkan aku... karena... karena aku...."
"Tidak... bukan salahmu... Soohee-ya..." selanya dengan suara parau.
Tak ada yang perlu di salahkan selain dirinya sendiri. Seluruh penyesalan adalah miliknya. Dia mengangkat tangan kekarnya dan mempererat pelukan sang adik. Dia berusaha mengatur deru nafasnya dan membiarkan Soohee melepas tangis.
Kata ma'af itu masih tergumam dari bibir Soohee di sela-sela isak tangisnya. Ucapan ma'af memang tak sepenuhnya mengusaikan masalah, tapi setidaknya cukup untuk bertindak sebagai obat penenang sejenak.
Hari itu udara berhembus cukup dingin. Orang-orang yang berlalu-lalang tampak mengeratkan jaket tebalnya. Mereka mengabaikan isak tangis yang memenuhi kedai mie kacang hitam itu, selain seorang lelaki berjaket coklat yang semantiasa berdiri.
Kedua matanya menatap daun pintu kedai yang tertutup dan beralih pada kaca jendela yang lebar. Di ssana, ia dengan jelas menangkap sosok kakak beradik yang tengah terisak seolah saling mengutarakan perasaan masing-masing.
Hal itu membuat Eunkwang menghela nafas dalam. Ia berniat mendekat, namun ada segurat rasa bersalah yang tak sanggup di ungkapkan sekalipun dengan sepatah ma'af. Di lain sisi, ia ingin berbalik dan pergi, namun di sana tercetak rasa enggan meninggalkan kawannya terluka.
Hingga ia memutuskan tetap diam dan mengamati. Di sana, di balik jendela kaca itu tak lagi ada sosok mereka. Hanya ada sekumpulan meja dan kursi kayu yang kosong, namun pria itu tampak enggan untuk beranjak dari sana. Dan tetap menatap kosong tempat itu.
(***)
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTUMN ☑
FanfictionSuara ketukan sepatu hitam yang dikenakan pria itu tedengar senada dengan langkah kakinya yang hati-hati. Ia menyusuri setiap ruang rumah rapuh yang telah lama ditinggalkan, barangkali hanya ada tikus dan laba-laba. Pencahayaan yang minim tak membua...