Sepuluh

2.3K 175 5
                                    

"Ayah, kapan kita akan pulang ke rumah di Seoul?" tanya Haera.

"Besok, saat semuanya sudah aman." Jeno mencium putrinya itu. "Ayah akan menemui ibu. Kalian di rumah saja ya? Jangan berbuat macam-macam. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, telepon ayah atau siapapun yang kalian kenal. Mengerti?" Jeno berpamitan pada ketiga anaknya.

"Baik ayah, hati-hati." kata Jaeyoon.

***

Jeno menemui istrinya yang dirawat di ruangan khusus. Ruangan itu memang hanya bisa di akses oleh perawat, dokter, atau sukarelawan. Keluarga pun harus mengurus izin masuk ke ruangan tempat Miyoung dirawat. Namun berbeda dengan Jeno, sebagai orang yang memegang separuh kendali keuangan rumah sakit. Ia dengan bebas masuk dan keluar rumah sakit. Bahkan untuk mengakses ruangan isolasi pasien.

"Bagaimana terapi traumanya?" tanya Jeno.

"Tak seburuk saat pertama dulu." jawab Miyoung.

"Kudengar banyak yang terjadi kemarin. Ada apa?" tanya Jeno penasaran.

Miyoung menceritakan semuanya dengan detail. Tapi ia tak menyebutkan seseorang dibalik penyelamatan dirinya dari tablet racun. Ia hanya mengatakan kalau orang itu adalah ahli kimia yang sering berada di laboratorium penguji obat rumah sakit ini. Miyoung menceritakan bagaimana saat ini mungkin Seonji masih dikurung di ruangan lamanya.

"Sayang, beruntung saja kamu masih di sini karena ahli kimia itu. Aku tidak tahu lagi kalau aku kesini dan kau sudah ada dalam peti." Jeno memeluk Miyoung erat.

"Belum saatnya aku mati, Jeno. Meskipun aku tak tahu umurku sampai berapa, tapi aku yakin aku masih bisa bertahan lama." kata Miyoung yakin.

"Istirahatlah, efek obatmu mulai nampak. Kau harus tidur." Jeno melepas peluknya dan membantu Miyoung berbaring. Ia menaikkan selimut Miyoung hingga sebatas ketiaknya.

"Aku mencintaimu." kata Miyoung sesaat sebelum terlelap begitu saja.

"Aku juga mencintaimu." jawab Jeno.

Jeno merubah posisi duduknya dan menempatkan kepalanya ke atas tangan Miyoung yang tak terbalut perban bekas infus. Ia juga pergi tidur karena mengantuk. Semalaman kemarin ia memikirkan kondisi Miyoung setelah kabar penyerangan itu. Yang lebih ia khawatirkan lagi adalah sang calon bayi di kandungan Miyoung. Perut Miyoung memang sudah sedikit membuncit dari sebelumnya.

***

Jaemin mengintip dari jendela kecil yang ada di pintu ruang isolasi. Melihat sahabatnya itu benar-benar menjaga Miyoung. Sementara ia berjaga diluar tanpa diketahui Jeno. Ia mengawasi gerak-gerik perawat dan dokter yang lalu lalang. Ia melihat lagi perempuan dengan jas dokter yang sama seperti kemarin sedang membawa botol dan pipet berisi cairan bening. Seperti biasa, Jaemin harus dengan cepat mengubah keadaan menjadi normal kembali sebelum terlambat.

Begitu oknum dokter itu keluar dari tempat stok obat dan infus, Jaemin menyusup ke sana. Ia melihat kemasan alat suntik yang sudah tersobek dengan tidak rapih. Bahkan penutup jarum suntik itu terlihat tak rapat seperti seharusnya. Ia membawa pergi alat suntik itu dan menggantinya dengan alat suntik lain yang masih kosong.

Ia mengeluarkan cairan isi alat suntik tersebut. Jaemin sangat paham kalau alat itu akan disuntikkan melalui bekas infus di tangan Miyoung. Jalur vena yang dengan cepat kembali ke jantung.

"Kau masih tidak menyerah untuk bermain-main dengan ahli teknik kimia sepertiku." kata Jaemin.

Sekali lagi, Jaemin berhasil menyelamatkan nyawa sahabatnya.

***

Waktu sore telah tiba. Miyoung disarankan oleh para dokter untuk keluar mendapat udara segar dari sekitar rumah sakit. Dibantu Jeno yang mendorong kursi rodanya, Miyoung bisa bernapas lega sembari melihat ke arah taman belakang rumah sakit. Miyoung tersenyum senang melihat suaminya itu menjaganya sepenuh hati.

CEO Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang