Delapan Belas

2.3K 173 1
                                    

Jeno duduk di depan ruangan perawatan Miyoung selama dokter memeriksa keadaan istrinya itu.  Ia cukup takut kehilangan untuk kedua kalinya. Jeno sempat mengintip proses penanganan Miyoung dari balik jendela kecil yang ada di pintu ruangan itu. Terlihat wajah Miyoung yang damai dengan mata terpejam. Begitu Dokter terlihat membungkuk untuk salam, Jeno langsung menyingkir dari pintu dan menunggu dokter keluar.

"Tuan Jeno, istri anda dalam keadaan baik. Hanya saja traumanya muncul kembali. Nyonya kini sedang melewati masa kritisnya karena syok dan trauma berlebihan yang menyebabkan lemah jantung. Kami permisi." Dokter itu pergi begitu selesai menjelaskan.

"Dokter, sampai kapan istri saya seperti itu?" tanya Jeno panik.

"Kami tidak tahu pasti. Mohon maaf, Tuan." dokter itu menjawab sambil terus melangkah menjauh.

Jeno masuk ke ruangan Miyoung dan melihat keadaan istrinya yang seakan tertidur saat ini. Tubuhnya sedikit membengkak di bagian-bagian tertentu. Di wajahnya terpasang masker oksigen. Punggung tangan kirinya tertutupi selang dan jarum infus. Wajah cantik Miyoung sedikit lebih pucat. Jeno mendekat padanya dan mengusap tangan lainnya yang tidak terganggu apapun.

"Sayang, berjanjilah padaku untuk tetap bersamaku. Berjanjilah untuk bertahan, ku mohon. Aku kembali ke pelukanmu, hanya untukmu. Jangan tinggalkan aku. Maafkan kesalahanku yang dulu. Aku menyesal." Jeno membisiki Miyoung.

Tak disangka, Miyoung merespon dengan tubuhnya agak tergetar dan air matanya menetes dari antara kelopak mata. Napasnya agak tak teratur karenanya.

"Sayang, jangan paksakan. Aku hanya ingin kau tetap bersamaku, aku tidak menuntut dalam waktu dekat. Tapi ku mohon, lewati ini semua. Aku yakin kau kuat. Ingat anak-anak kita, mereka menunggumu di rumah." Jeno menghapus jejak airmata yang mengalir di pipi Miyoung.

Jeno melihat side monitor yang menunjukkan grafik aktivitas jantung dan denyut nadi Miyoung. Jeno tahu, grafiknya bergerak rendah dan sangat pelan. Tangannya bergerak untuk menaikkan selimut yang dipakai Miyoung. Tangannya menyentuh pergelangan tangan Miyoung yang sedikit membengkak.  Jeno mengusapnya pelan. Jari-jari yang diusapnya sedikit merespon dengan gerakan kejut. Jeno lalu menggenggam tangan itu dengan erat.

"Kau tak ingin aku pergi ya? Baiklah aku akan duduk di sini." Jeno menarik kursi untuk duduk di dekat Miyoung.

Mata miyoung perlahan membuka. Ia melihat ke arah Jeno begitu penglihatannya bisa menyesuaikan cahaya. Matanya menatap sayu Jeno. Kelopaknya masih terlalu berat untuk membuka.

"Sekali lagi, maaf." ucap Miyoung.

"Tidak apa, yang penting kau harus sembuh dulu." kata Jeno.

"Aku tidak mungkin sembuh. Ini penyakit bawaan. Aku hanya akan terus bertambah lemah." jawab Miyoung.

"Jangan berkata demikian. Aku yakin kau sembuh." kata Jeno sambil mengusap pipi istrinya

"Apa anak-anak pulang bersama paman mereka?" tanya Miyoung yang suaranya melemah.

"Tidak. Mereka di sini. Mereka hanya tidak boleh masuk karena mereka dibawah umur. Aku akan menyuruh mereka pulang saat malam tiba." jawab Jeno. "Istirahatlah, aku tahu kau masih terlalu lemah untuk banyak bicara." Jeno mencium kening istrinya sebelum beranjak pergi.

Belum lama Jeno keluar dari ruangan itu, Miyoung benar-benar tertidur. Masih lengkap dengan masker oksigen dan beberapa selang yang dipasang pada tubuhnya. Napasnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Jeno melihat bagaimana tersiksanya Miyoung yang harus buang air dengan bantuan selang karteter.

"Ayah, bagaimana keadaan ibu?" tanya Jaeyoon yang menunggu di depan pintu.

Jeno hanya diam tak merespon.

***

"Jangan seperti ini terus menerus Jen. Kau akan membahayakan perusahaan." kata Jaemin yang menemani Jeno yang pulang ke rumah. Ia mendengar kalau Jeno harus berutang ke perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan Lee hanya untuk pengobatan Miyoung.

Sejak kejadian penculikan itu, perusahaan mengalami penurunan nilai saham secara drastis karena dianggap sejenis Underground Bussiness yang berbahaya. Beberapa perusahaan mencabut kerjasamanya karena takut akan bahaya Underground Bussiness yang tak lepas dari korupsi. Saham sempat merangkak naik saat kabar putri mereka yang meninggal menjadi pahlawan keluarganya.

"Aku hanya ingin istriku sembuh. Itu saja. Aku tidak masalah kalau saja Perusahaan Lee harus bangkrut. Nama Perusahaan sendiri sudah tercoreng karena baku hantamku dengan pihak perusahaan Jaekim sejak dulu." kata Jeno.

"Pasti ada jalan. Kenapa kau tak minta bantuan pada kakak iparmu? CEO Kim Corp." kata Jaemin menyarankan.

"Kalaupun itu keputusan akuisisi, aku akan menerimanya." Jeno menekan tombol panggilan saat melihat kontak Doyoung.

"Kak, aku hanya ingin meminta bantuan sedikit. Ini soal adikmu."

"Aku tahu, saham perusahaanku merangkat naik. Tapi uang yang mengalir masih harus berputar di perusahaan."

"Benarkah? Terima kasih kak. Aku tidak perlu berutang pada perusahaan lain kalau begitu. Aku anggap ini utangku pada perusahaan Kim." kata Jeno sambil terkekeh sebelum menutup teleponnya.

"Tunggu dulu, kemana semua uang tabunganmu selama ini?" tanya Jaemin.

"Aku cairkan semua demi mengusir masa lalu." jawab Jeno. "Aku baru merasakan betapa pusingnya mengurus perusahaan. Dulu, aku sempat ingin segera merebutnya dari tangan orang jahat. Tapi saat menguasainya sendiri, aku baru bisa merasakan betapa sulitnya semua ini."

"Ya, semua ada kalanya di atas ada kalanya juga di bawah. Saat di bawah, kita berusaha bagaimana caranya menggapai apa yang di atas, saat kita di atas kita merasakan hal yang tak ingin kita hadapi saat di bawah dan ingin kembali ke bawah karenanya." timpal Jaemin.

"Haruskah aku jujur soal ini pada Miyoung?" tanya Jeno.

"Em Way punya andil besar dalam perusahaanmu dan juga Perusahaan Kim begitu juga sebaliknya. Mungkin kau harus mengatakannya saat keadaannya sudah membaik nanti." tukas Jaemin.

***

Miyoung sudah bisa duduk dengan tegak meskipun napasnya masih harus dibantu selang oksigen. Jeno duduk di sampingnya mengusap telapak tangan istrinya. Miyoung sudah tampak lebih sehat dari sebelum ini.

"Maaf aku harus jujur soal ini. Aku terlilit utang karena pengobatanmu. Memang jumlahnya tidak besar, tapi itu cukup jadi beban." Jeno membuka percakapan dengan sangat canggung.

"Apa saham perusahaan turun drastis hingga kau kehilangan semua tabunganmu?" tanya Miyoung.

"Ya, begitulah. Banyak yang membatalkan kerjasamanya juga." ujar Jeno.

"Em Way akan membantumu bangkit. Aku janji." Miyoung menggenggam tangan Jeno erat.

"Bagaimana caranya? Saat desainer tunggal dan pimpinannya terbaring di rumah sakit?" tanya Jeno.

"Tanganku masih bisa menggenggam erat pensil. Penjualan di butik juga sedang bagus akhir-akhir ini. Laba Em Way bisa masuk ke kantongku secara penuh. Aku akan buat desain baru untuk ini." kata Miyoung. "Karena aku terlalu terbiasa desain mewah, kali ini aku akan mendesain yang sederhana saja. Agar semua orang mampu memakainya." lanjutnya.

"Baiklah ibu desainer, apa yang kau butuhkan?" tanya Jeno.

"puluhan lembar kertas, papan alas, pensil, rautan, penghapus. Kita mulai kerja kita malam ini." kata Miyoung bersemangat.

Jeno mengambil map berisikan peralatan Miyoung dan memberikannya pada sang istri. Miyoung langsung sibuk menggambar dengan memberi detail bahan yang digunakan saat produksi. Miyoung akan membuat kisaran harganya saat sampel sudah jadi. Dalam waktu kurang lebih satu jam, ia berhasil membuat sepuluh desain yang bisa dibuat dengan dengan warna dan model berbeda-beda. Jeno memanggil pimpinan produksi Em Way untuk membawa desainnya itu.

Mulai besok, semua desain itu akan diproduksi massal untuk menjadi koleksi umum butik Em Way yang sudah memiliki puluhan cabang di Korea Selatan dan Jepang.

Kimrene23
0919

CEO Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang