:: BAB 28 - CALON KAKAK IPAR ::

275 10 0
                                    

RENE dan Mia sudah memikirkannya bagaimana mereka bisa lolos dari Mas Kafka. Lebih tepatnya, mereka tidak perlu bertemu dengan Mas Kafka karna biasanya kakaknya itu berangkat lebih pagi, bahkan sebelum Rene bangun. Dengan begitu Mas Kafka tidak perlu melihat luka di wajah dan tangan Rene dan semuanya aman.

Sialnya, Mas Kafka tidak terlalu sibuk pagi ini dan meluangkan waktunya untuk sarapan pagi bersama mereka. Mau tidak mau, Rene dan Mia ikut sarapan dengan perasaan tak menentu.

Mas Kafka hanya melirik sekilas ke wajah Rene dan tangannya yang diperban.

Rene menunduk takut sambil menghabiskan makanannya dengan tenang. Seolah-olah setiap suara yang ia timbulkan bisa membuat kakaknya itu membunuhnya. Begitupun Mia yang sama gugupnya dengan Rene.

Mas Kafka membalikkan sendoknya, tanda ia sudah selesai dengan sarapan paginya. Lalu, ia menghabiskan minumannya. Matanya beralih pada Rene yang menghabiskan makanannya dengan lahap.

"Ada yang mau jelasin? Apa yang terjadi selama Mas nggak ada?" tanya Mas Kafka dengan nada halus, tapi setiap kata-katanya membuat Rene merinding, takut.

"Dan sebutkan, siapa yang berani melukaimu? Mas pastikan dia dan seluruh keluarganya menerima akibatnya."

Rene menelan ludah. Jika ia pernah mengatakan hal yang sama pada Sena sebagai sebuah lelucon, bukan ancaman yang sebenarnya. Tapi Mas Kafka tidak pernah main-main dengan ucapannya.

"Aku cuma berantem kecil. Lukanya nggak parah. Mas nggak perlu khawatir." jelas Rene dengan terbata-bata.

BRAK!

Mas Kafka mengebrak meja membuat semua makanan di meja itu bergoyang. Rene dan Mia lansung menciut, takut.

"Berantem kecil katamu? Kalau sampai Mama Papa tahu, Mas bisa dianggap tidak becus menjaga kamu." Mas Kafka menaikkan nada suaranya.

Rene menunduk semakin dalam. "Maaf."

"Ini peringatan pertama dan terakhir. Sekali lagi kamu buat masalah, kamu harus tinggal dengan Mama Papa di luar negeri."

"Iya."

Hening.

--- ooo ---

MIA diam menatap Rene yang berjalan di sisinya. Cewek itu terlihat melamun. Entah apa yang dilamunkannya.

"Mi, kayaknya Mas Kafka ada benarnya." kata Rene seolah bergumam. "Apa gue tinggal aja sama BoNyok gue di luar negeri?"

"Kok elo ngomongnya gitu?" Mia memandang tidak suka. "Kita udah kelas tiga. Bentar lagi ujian dan gue pengen lulus bareng lo."

"Coba lo pikir, gue udah kehilangan semuanya. Han ninggalin gue. Teman-teman pada menjauh. Gue dibenci seantero sekolah. Mas Kafka selalu membatasi apa yang gue lakuin." Rene menunduk sedih. "Padahal dulu, cuma Han yang bisa buat gue semangat ke sekolah."

"Ren, dengerin gue... stop mikirin hal bodoh itu. Elo masih punya gue, Samanta, dan..."

"Dan gue." sambung Vasco seenaknya. Tangannya seperti biasa, sudah bertengger di bahu cewek itu.

Mia melotot, lalu mengambil tangan Vasco dan mempelitirnya.

"Woy, sakit." jerit Vasco, lalu berusaha menggunakan tangannya yang bebas untuk menepis tangan Mia, tapi tidak berhasil. Mia lebih dulu mengambil kedua tangan Vasco, lalu memutarnya ke belakang dan menguncinya. Lutut Vasco ditekut membuat cowok itu berlutut di depan mereka.

"Siapa lo? Berani-beraninya nyentuh sahabat gue?" tanya Mia menghakimi.

"Gue bukan orang jahat." balas Vasco sambil menahan sakit, kuncian cewek itu kuat banget, membuatnya tidak bisa berkutik.

PRINCESS PATAH HATI (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang