luka

959 75 2
                                    

Bel pulang sudah terdengar nyaring sejak lima menit lalu. Guru mengajar pun terlihat sudah meninggalkan kelas, dan tidak jauh dengan itu murid murid juga sudah keluar dari kelasnya masing masing.

Taufan melangkah keluar dari halaman sekolahnya menuju parkiran. Ia ingin mengambil sepeda kesayangannya.

Senyumanya terus memekar dari awal istirahat pertama, dan mungkin sebab senyumnya itu ia banyak memiliki teman. Hari ini saja ia sudah mengenal seluruh isi kelas.

Ia mengambil sepeda birunya itu. Di bawanya kepeda itu keluar area parkir. 'Sepertinya ada yang salah?' Batinnya. Taufan memeriksanya ban sepedanya, dan benar bannya bocor.

"Yah, bengkel lagi" keluhnya singkat. Taufan mendorong sepedanya itu, itulah caranya pulang di hari pertama ini. Walau pun begitu senyuman tak pernah hilang dari wajahnya itu.

"Fan!"

Taufan menoleh pada asal suara. Terlihat tubuh tinggi Gempa, tak mungkin ia lupa dengan sosok ini.

"Eh iya, kenapa?"

"Sepedamu kenapa?"

"Oh ini, bannya bocor"

Gempa terdiam, ia merasa kasihan bila Taufan harus berjalan ke rumahnya, yang mungkin jauh.

"Gimana kalo kamu pulangnya bareng aku aja?"

"Gak usah, ini cuma butuh bengkel jadi gak usah repot"

"Yaudah kalo gitu aku antar kamu ke bengkel dekat sini"

"Gak usah, nanti malah kerepotin"

Gempa tersenyum tanda agar Taufan menerimanya. Tatapannya juga seperti orang yang memaksa.

"Baiklah ayo"

Taufan pun mengikuti saran Gempa. Mereka pun pergi mencari bengkel untuk sepeda Taufan.

***

Di lain sisi ada seseorang yang melihat kejadian itu dari kejauhan, ialah Halilintar. Sosok yang sedari tadi melihat hal yang cukup membuatnya kesal.

"Ck" ia berdesis kesal lantas melanjutkan langkahnya menuju mobil jemputannya. Di kenakannya jas yang sebelumnya ia lepas.

"Drap" suara pintu mobil yang sedikit di banting. Halilintar melangkah masuk dan duduk di kursi belakang. Tak lama, mobil itu pun mulai berjalan meninggalkan sekolah.

Halilintar mengambil novelnya dan kembali membaca buku itu, sambil menunggu mobil ini sampai ke apartemennya.

***

"Tuan kita sudah sampai"

"Sial*n ngapain kesini"

"Maaf tuan, ayah tuan datang dan menyuruh saya membembawa tuan muda kemari"

"Trus ngapain bapak nurut"

Halilintar membuka pintu mobil itu. Di lihatnya bangunan dengan 40 lantai itu, wajahnya merah padam melihat bangunnan yang amat ia benci itu.

Ia berlari keluar dari gerbang. Sudah muak ia dengan kisah kisah menyakitkan itu.

"Kak"

Seseorang berlari mengejar Halilitar, ia terlihat lebih muda dari Halilintar dengan sweter abu abunya.

"Kakak"

Tangan anak itu menarik bahu Halilintar, menghadap padanya.

"Lepas!" Halilintar menepis kasar tangan itu, emosinya kini tengah meluap luap. "Jangan ganggu hidupku lagi!" Halilintar berlari menjauh.

"Berhenti!"

Langkah Halilintar terhenti, suara serak itu seakan mengiyang di kepalanya. Ia berbalik dan berjalan mendekat, raut wajahnya berubah menjadi sinis.

"Kenapa? Ingin membela dia lagi"

"Jaga bicaramu"

"Ayah yang harusnya jaga sikap ayah!"

'Plak' satu tamparan mendarat di pipi kiri Halilintar, tubuhnya terguncang hingga terbungkuk. Halilintar kembali bangkit.

"Tampar lagi tampar. Tampar aku," Halilintar menunjukan pipinya itu mengarah pada ayahnya. "Kenapa diam, tampar. Aku sudah terbiasa kok. Ayo" ia tersenyum sinis pada ayahnya.

"Emang harusnya aku yang pergi saat itu"

"Cukup bicaramu itu!"

"Sebut namaku! Apa susahnya sih, kalau ayah lupa namaku biar aku ulangi namaku Halilintar. Halilintar anak yang tak pernah ayah anggap. Anak menyedihkan dan mengecewakan bagi keluarganya!"

Tepat saat kalimatnya selesai tamparan itu kembali mendarat di pipinya.

"Heh, bahkan sudah 5 tahun ini tak pernah berubah. Aku tetaplah anak yang menyedihkan. Rayakan saja bersama anak ini. Gak usah harusnya ayah manggil aku tadi! "

"Kak"

"Diam, aku tak berbicara denganmu!"

"Cukup, dia ini juga adikmu. Dia ini Lintang adikmu!"

"Adikku hanya Kinar hanya Kinar!" Halilintar berbalik dan berlari, jauh sudah langkahnya berlari meninggalkan ayah dan anak itu.

Pada akhirnya hanyalah sesak yang tersisa, tak pernah ada sekata pun pembelaan untuknya. Bahkan menyebut namanya saja ayahnya masih enggan.

***

Maaf cerita ini sungguh tidak jelas. Author gak tau mau bikin kayak gimana lagi.

Maaf sekali lagi kalo ada typo dan sebagainya

Juga trims karna tetap mengikuti cerita ini.
Love readersku

Salam hangat untuk kalian

LALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang