masalah

737 63 2
                                    

Taufan melangkah memasuki halaman rumahnya. Dari pintu depan terlihat bibi yang bekerja di rumahnya berlari dengan raut wajah kawatir.

"Den, den. Ibu den. Ibu teriak teriak lagi" ucap setibanya di hadapan Taufan.

Dengan cepat Taufan berlari masuk. Namun langkahnya terhenti ketika ayahnya datang.

"Taufan masuk kamarmu!"

"B-baik pa" dengan berat hati ia melangkah menuju kamarnya. Sedangkan ayahnya menemui istrinya tersebut.

"APA INI MAS. APA INI DI KERAH BAJUMU. KENAPA ADA INI MAS"

"DIAM. ITU BUKAN URUSANMU"

"BUKAN URUSANMU, AKU INI ISTRIMU. KENAPA KAMU MASIH BERHUBUNGAN DENGAN PEL**U* ITU"

"AKU BILANG BUKAN URUSANMU"

Terdengar suara tamparan dan pecahan kaca yang terus menggema di telinga Taufan. Kini ia tengah meringkung di balik pintu kamarnya, mencoba menahan kesesakan diri.

"Ku mohon hentikan. Hentikan aku...aku lelah...hentikan"

Diambilnya kater disebelahnya. Perlahan digoseskannya pada tangan itu. Cara itulah yang sesalu ia lakukan ketika orang tuanya selalu bertengkar seperti ini.

Darah bertetesan dimana mana. Barang barang yang berantakan tak tertata. Serta senyuman palsu yang kini tak dapat di bendung kembali.

Taufan tertatih melangkah menuju ranjangnya, lengannya masih saja mengalirkan darah segar yang bertetesan dimana mana.

"Pa, ma kapan kita bisa pergi ke taman kayak dulu?" Ucapnya yang diakhiri dengan tubuh yang ambruk dan hilang kesadaran.

***

19.58

"Argh, jam berapa ini" Taufan terbagun dari tidurnya. Ia menoleh pada jam dinding. "Sudah malam". Selepas itu ia berdiri untuk mandi.

Ditatapnya keleliling, darah, barang berantakan. "Terjadi lagi" ucapnya sambil tersenyum tipis. Ia beranjak mandi dan berbenah di kamarnya.

Selepas itu lukanya di obati dan di perban olehnya. Dan mengganti pakainnya menjadi lengan panjang.

"Den...apa den baik baik aja?" Bibi mengetuk pintu kamar Taufan. Sudah terhitung sepuluh kali ia bolak balik mengetuk pintu kamar Taufan, ia merasa kawatir karna dari tadi tak ada jawaban dari Taufan.

"Ya bi, aku baik baik saja. Ada apa?" Ucap Taufan dengan senyumannya.

"Gak apapa, bibi cuma kawatir kalo aden kenapa napa"

"Aku gak apapa. Lihatkan, tak ada yang salahkan dariku? Jadi aku baik baik saja"

"Kalo gitu aden makan, kan dari pulang sekolah" pinya bibi yang akhirnya di iyakan oleh Taufan.

Mereka pun melangkah menuju ruang makan. Taufan yang memang belum makan, kini makan dengan lahapnya. Namun itu tak bertahan lama.

"Taufan! Kenapa kamu tidak belajar. Kanu taukan nilai kamu itu gak pernah benar. Sana belajar. Lama lama anak sama ayah sama aja!" Bentak ibunya yang tiba tiba muncul dari belakang Taufan.

"T-tapi ma. Ta-"

"Tapi apa mau makan. Kerjan kamu itu cuma males malesan. Sana belajar!"

"Baik"

Kaki Taufan melangkah menuju kamranya, perut yang masih kelaparan itu harus menunggu lagi dan lagi. Hati yang hancur itu harus di tutupi dulu.

"Seenggaknya mama masih kawatir sama akukan" Taufan menatap cermin di kamarnya. Ia tersenyum, walau pun ia tau itu hanya kebohongan yang selalu ia lakukan.

"Papa juga masih maukan bicara sama aku, walau hanya kalimat itu yang ia ucapkan"  ia tetap tersenyum. Kini tubuhnya semakin di turunkan, hingga posisinya duduk di depan cermin besar itu.

"Kenapa hanya teriakkan itu yang aku dengar...sakit...lelah...aku ingin pergi...a...ak...ku..." Taufan menghentikan kalimatnya. Tangan itu kembali meraih kater yang masih dengan noda merah di sisinya.

Dilihatnya dengan teliti. Dibaliknya kater itu berulang kali, hingga terdengar suara pecahan beling yang nyaring, dan teriak teriakan penuh emosi dan tangis. Hal yang tak pernah berubah sejak tiga tahun terakhir.

Taufan melangkah melempar kater itu ke lantai dan berbaring di ranjangnya kembali. Telingganya ia genggam erat erat berharap tak terdengar lagi suara menyesakkan itu.

"Kumohon hentikan" ucapnya lirih lantas mengambil pisau lipat di sakunya dan menggoreskan lagi sebuah luka yang sesalu ia buat agar tak merasakan sesak itu lagi.

Dan perlahan ia akan masuk dalam mimpi yang bahkan tetap sama seperti hidupnya. Hanya kehancuran dan teriakkan yang ada.

Menanti akan datangnya hari dimana ia bisa bebas dan terbang sesuakanya tanpa harus ada kater dan pisau yang membantunya untuk menahan sakit.

                               ***

Balik lagi sama Author. Menurut kalian gimana nih eps yang ini, apa cukup menghibur atau malah kurang. Komen ya.

Sekali lagi Author minta maaf klo ada typo dan lain lainnya. Dan juga trimakasi karna sudah mau membaca

LALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang