"Tok tok" terdengar ketukan pintu yang berulang ulang. Bapak guru itu pun membukakannya pintu.
"Siang, apa bapak ayahnya Halilintar?" Tanya guru itu sopan
"Bukan, saya wakilnya. Ayahnya sedang berhalangan"
Halilintar menatap pria itu,ia tahu siapa dia. Dia adalah asisten dan pengasuh pribadinya. Kini matanya berbalik menatap gurunya.
"Halilintar, kamu bisa keluar"
Tak perlu di suruh dua kali, Halilintar sudah melangkah menuju pintu keluar.
Saat berjalan ia terus menundukan kepala. Sesaat ia mengangkatnya, saat berada di belakang kelasnya.
'Tidak penting' gumamnya. Ia terus melangkah menuju belakang sekolah. Ia tetap menundukan kepalanya, hingga ia melihat sepasang kaki yang sangat ia kenali.
"Ayah?" Ucapnya lirih. Bukanya balasan yang ia terima, tapi tamparan di pipi kanannya.
"Bikin malu!! Mau di taruh dimana muka ayah heh!"
"Ayah hentikan"
"Kamu itu udah ngerusak citra keluarga!. Mau jadi apa kamu hah!. Disekolahin bukannya belajar malah jadi berandal!"
"Aku bilang hentikan. Ayah itu gak tau apa apa, jadi berlentilah mencaciku!!"
Kini Halilintar kembali mendapat tinjuan kasar dari ayahnya, ia tersungkur ke tanah karna tinjuan yang terlalu keras.
"Memang nasibku menjadi anak tiri!" Halilintar berlari entah kemana, meninggalkan ayahnya seorang diri.
***
Halilintar duduk terdiam di atas ranjang UKS. ia melamun entah memikirkan apa.
"Apa kau baik baik saja?" Terlihat seseorang yang memasuki UKS.
"Ck" Halilintar berdecak kecil. Ia sangat hafal dengan suara itu. Gempa, ya dialah orangnya.
"Lin?"
"Keluarlah, aku baik!"
"Aku keluar, setelah lukamu di obati" Gempa mendekat. Ditangannya sudah ada kapas dan obat merah.
"Maaf kalau aku maksa"
Halilintar melirik tangan Gempa. Warna kebiru biruan sangat jelas di tangannya.
"Bodoh"
"Maksudmu?"
"Kau bodoh karna merahasiakannya sendiri"
"Ternyata kau seorang pengamat yang baik" Gempa tersenyum sembari mengobati Halilintar.
"Kau bisa cerita denganku" ucap Halilintar lirih.
"Aku masih bisa menahannya"
"Terserah" Hali berdiri dan melangkah menjauh. "Tanpa kau cerita aku sudah tau".
"Apa semua memang benar aku ini menyusahkan?" Gempa mulai menurunkan nada bicaranya. Terdengar sangat tulus namun menyakitkan.
"Hanya orang yang tidak bernafas yang merasa kau tak berguna"
"Lantas kenapa kalimat itu yang seringku dengar"
Halilintar berbalik, ia kembali duduk menatap Gempa yang menahan tangisnya.
"Kau bisa lanjutkan"
"Hihi, terima kasih" Gempa ikut duduk disebelah Halilintar. "Tepat saat aku SMP, ya semuanya berawal dari aku yang tidak masuk sekolah favorit dan ibuku kecelakaan, dari kecelakaan itu ibu meregang nyawa. Saat itu adalah hari terburukku, aku yang tengah menangis di tarik ayahku ke kamar mandi. Aku disirap di tanpar. Semuanya, semua hal yang menyakitkan. Aku tidak sekolah selama seminggu" Gempa mulai meneteskan air matanya.
"Gem" Halilintar mengelus punggung Gempa, turut merasa iba. Gempa mulai sadar dari lamunannya, ia menghapus air matanya dan tersenyum pada Halilintar.
"Jangan paksakan tersenyum, kumohon rasanya sesak melihatnya"
"Lin, kenapa ayahku tak peduli lagi denganku. Sakit melihatnya setiap malam pulang dengan berantakan dan bau alkohol. Sakit rasanya ia membentakku berkata kalau aku tidak berguna. Sakit rasanya ketika..." Gempa terdiam, matanya berkedip beberapa kali lantas memandang Halilintar
"Pulang" ucapnya singkat, lalu berlari keluar UKS.
"Dasar" Halilintar berdecak kesal lantas menyusul Gempa. Ia tau kalau ini bel istirahat bukannya pulang.
"Nyariin ya?" Tiba tiba terlihat seorang siswa yang menyapanya. Ia sebenarnya tidak mengenal Halilintar.
"Minggir" balas Halilintar.
"Ok karna lo meminta, kenalin gue Solar dari Mipa 7, memang tampan dan smart. Lo bisa jadi teman gue"
"Gak trimakasih"
"Nanti dulu" Solar menghadang tubuh Halilintar. "Lo belum ngenalin diri"
Sambungnya."Aku Halilintar. Puas!"
"Isi pakek aku kamuan. Kayak cewek tau gak" balas Solar yang merasa aneh dengan bahasa Halilintar.
"Munggir! Gue sibuk" Halilintar mendorong Solar untuk menepi.
"Santai dong. Nyari siapa sih? Gempa?"
Halilintar terbelalak ketika Solar mengetahui orang yang sedang ia cari.
"Dia di koridor. Lagi sama Taufan"
"Thaks" Hali berlali menuju koridor. Iris ruby itu terpaku pada dua orang yang sedang memakan snack dengan santainya.
"Ngapain lo tadi lari?" Tanya Hali yang melangkah mendekati mereka.
"Tumben pake lo gue. Kesambet apaan" Taufan menyeletuk, rasanya lucu ketika Halilintar tiba tiba mengganti gaya bahasanya.
Halilintar membuang pandangannya, wajahnya merah karna malu namun sayang tak terlihat karna lidah topinya.
"Sandai dong. Masak abang geledek malu malu. Kayak Solar aja yang gak tau malu" Blaze tiba tiba datang. Namun belum selesai ia tertawa, Solar sudah datang dan mengejarnya.
"Gue denger" teriak Solar.
Semua tertawa melihat tingkah Blaze dan Solar, bahkan Halilintar yang biasanya tanpa ekspresi kini tersenyum tipis.
"Lin, temenin ak-" saat Gempa memanggil Hali, "jangan pakek aku kamu" Solar memotong.
"Iya ya, Haliintar anterin gue ke kelas"
"Hm"
Gempa dan Halilintar pun balik ke kelas dan mengambil tas karna sebentar lagi waktu pulang.
***
Akhirnya nemu ide.
Ok balik lagi sama Author. Gimana ceritanya, plissss komen terntang ceritanya.
Dan trims karna terus mengikuti cerita ini. Maaf bila ada kesalahan.
Bye
KAMU SEDANG MEMBACA
LALU
General Fictionkita bertemu dari arah yang berbeda dengan tujuan yang sama. berlari mengejar apa yang impikan. mencoba bebas dari belenggu yang merantai diri. perjalanan tanpa ujung yang terus mengejar. entah kalimat apa yang membuat ini menjadi rumit. entah deng...