2 : A Starry Night
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
Ketidaksukaan Jeongguk pada Gaesong bermula dari hal-hal yang sederhana. Dia benci pada suasana berisik di pasar, penuh oleh gosip kurang penting yang beredar dari mulut ke mulut. Dia benci perdebatan di pengadilan istana yang—meski tak pernah diikuti oleh baik dia maupun ayahnya—selalu menyeret-nyeret keluarga mereka pada keadaan-keadaan tidak terduga. Seperti sewaktu ayahnya tiba-tiba diutus ke Song untuk mengawal arak-arakan hadiah, atau sewaktu ia diminta ikut serta dalam festival berburu di usianya yang baru menginjak sembilan tahun. Dia benci pada para pejabat dan anak mereka yang manja. Di mata mereka semua, Jeongguk hanyalah anak tidak berpendidikan yang mengerikan. Sementara bagi Jeongguk, mereka hanyalah sekumpulan rusa yang tidak pernah tahu seberapa ganas perkelahian sekelompok serigala.
Semasa kecil dahulu, Jeongguk cukup menyukai kehidupannya di Gaesong. Ia tidak banyak berpikir selain bagaimana cara melarikan diri dari guru suruhan ayahnya untuk bermain dengan anak-anak lain. Jeongguk tidak mudah bergaul, tapi ia berubah jadi sosok yang menyenangkan di depan orang-orang yang dianggapnya teman. Jeongguk kecil biasa menghabiskan sore bermain di dekat pasar bersama Hoseok, Namjoon, dan Jimin. Sebisa mungkin menyenangkan hatinya sendiri sebelum ayahnya pulang dari barak prajurit dan mengomelinya tanpa henti.
Sudah lama Jeongguk melupakan perasaan ringan dan mendebarkan itu. Sejak mulai bisa memegang pedang, Jeongguk dikirim bersama tangan kanan ayahnya ke perbatasan utara. Waktu untuk pulang hanya datang di tahun baru. Dalam kesehariannya yang penuh perjuangan bertahan hidup, Jeongguk melupakan rasanya bersenang-senang. Waktunya habis memikirkan strategi perang, dan malam-malamnya tidak pernah berhenti dihantui kecemasan. Hubungan Song dan Goryeo sedang berada di titik tertinggi konflik, dan Jeongguk tidak punya pilihan selain berjuang sendirian.
Bagi seorang prajurit, akan ada pembunuhan pertama, kematian pertama, dan momen-momen mengerikan yang senantiasa mereka ingat selama berada di medan perang. Dan sebagai prajurit, hal-hal seperti itu juga datang pada Jeongguk. Ia ingat bagaimana tubuhnya gemetar hebat melihat tangannya banjir oleh darah orang lain. Entah darah siapa saja, Jeongguk tidak bisa ingat. Mungkin itu darah musuhnya, mungkin itu darah laki-laki yang melindungi Jeongguk dari anak panah, mungkin saja itu darahnya sendiri. Jeongguk terus mengingat kengerian itu seperti baru terjadi kemarin. Ia pernah membunuh, dan kenyataan itu perlahan-lahan ikut membunuhnya dari dalam.
Siang itu, lepas menyerahkan kudanya pada seorang penjaga istana, Jeongguk berjalan menuju halaman kaisar dengan dagu terangkat tinggi. Pakaiannya bukan lagi baju zirah. Pedangnya masih tersangkut di pinggang. Bentuk perlindungan diri, kata Jeongguk sewaktu ditanya mengapa. Seorang kasim mengumumkan kedatangannya di depan pintu sekaligus mengambil pedang Jeongguk untuk disimpan. Jeongguk merasa buruk. Ia merasa telanjang. Pedang itu adalah kawan Jeongguk dan media pertahanan dirinya.
Di samping perasaan tidak menyenangkan lantaran dipisahkan dengan teman terbaiknya, Jeongguk merasa risau tanpa alasan. Ia tidak bisa menjelaskan dari mana datangnya rasa tidak nyaman ini, dan tidak punya waktu untuk mencari tahu saat pintu di depannya terbuka. Kaisar duduk dengan tenang, memandangnya dari ujung ruangan.
"Jeon Jeongguk memberi salam pada Yang Mulia." Jeongguk merendahkan tubuh, memberi hormat pada lelaki paruh baya di hadapannya. Tidak ada siapa pun di ruangan itu selain mereka berdua beserta seorang gadis yang Jeongguk kenali sebagai putri ketiga Kaisar. Putri Jihyo.
"Duduklah, Jenderal. Silakan duduk." Kaisar menepuk meja pelan-pelan, memberi isyarat pada Jeongguk untuk berhenti membungkuk.
Jeongguk tidak bicara lagi. Pada dasarnya ia memang tidak banyak bicara. Ia duduk dengan patuh di atas alas duduk yang disediakan untuknya. Seorang dayang segera menuangkan teh ke cangkirnya yang masih kosong, dan Jeongguk masih bungkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Walk Past Time
FanfictionFrustasi dengan tuntutan dari keluarganya, juga tekanan dalam perjalanan karirnya di militer kerajaan, Jeon Jungkook menemukan hiburan dalam setiap petik gayageum seorang gisaeng. "Today the moon shines brighter on the blank spot of my memories."...