04 : That Person (Bagian 1) - unedited

2.8K 387 35
                                    

Author notes:

Nama dari Pangeran dan Permaisuri dalam fanfiksi ini dipinjam dari Putra dan Permaisuri Raja Injong (1122 - 1146).

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

04 : That Person (Bagian 1)

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

Malam tidak pernah ramah pada Kim Namjoon. Sejak remaja, lelap selalu membawanya pada gerbang mimpi buruk yang tidak berujung. Setiap malam, gerbang-gerbang itu akan menyambutnya setelah ia memejamkan mata, membawanya pada teror yang menyedot sedikit demi sedikit energi kehidupannya yang singkat.

Di usia lima belas tahun, Menteri Kim mulai memperkenalkan Namjoon pada hiruk-pikuk warna pemerintahan Dinasti Goryeo. Selepas petang, setelah menyelesaikan makan malam mereka yang selalu sunyi, Ayah akan membawa Namjoon ke perpustakaan pribadinya. Di sana, mereka akan bicara tentang banyak permasalahan yang ditemui lelaki tua itu di Pengadilan Kaisar. Namjoon remaja mengerti esensi dari pembelajaran itu, meski gagal total menggali maksud sebenarnya dari setiap perilaku ayahnya.

"Anak itu akan duduk di kursi naga, dan aku akan menyaksikannya. Tidak peduli hidup atau mati."

Suara ayahnya malam itu begitu terdengar tegas, seolah lelaki berusia hampir setengah abad itu hendak menantang langit saat ia bicara. Suaranya begitu membekas di kepala Namjoon, menjadi lonceng penanda bahwa gerbang menuju mimpi buruk pertamanya telah terbuka. Malam itu Namjoon tahu, bahwa ia kelak harus bersedia membuang masa kecilnya yang menyenangkan bersama Hoseok, Jimin dan Jeongguk. Kelak ia harus rela menghapus perasaannya demi tujuan yang lebih besar.

Mimpi yang mendatanginya malam itu sangat mengerikan. Hoseok dan Jimin tergeletak mati bersimbah darah, sementara Jeongguk merangkak mendekatinya dengan wajah yang kotor dan mata penuh amarah. Namjoon bisa merasakan tubuhnya gemetar dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia merasa begitu ketakutan menghadapi Jeongguk; Jeon Jeongguk yang sewaktu kecil dulu selalu mengikutinya kemana-mana.

"Kau bukan temanku," kata Jeongguk sebelum melepas napas terakhirnya.

Sejak saat itu, tidur Namjoon tidak pernah terasa sama. Ia selalu dihantui ketakukan bahwa mimpi-mimpi buruk itu akan datang dan mengusik tidurnya. Namjoon bukannya tidak tahu; ia sadar betul bahwa mimpi-mimpi itu adalah pertanda baginya. Peringatan yang semesta bawa, sebagai pesan bahwa kelak Namjoon mungkin menjadi pedang yang mencabut nyawa sahabat-sahabatnya sendiri.

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

Malam itu sama seperti malam-malam lainnya. Namjoon duduk di kamar tidurnya, membaca buku sembari menikmati gelas teh dinginnya yang ke sekian. Istrinya sudah terlelap nyenyak di atas tempat tidur, sepenuhnya mengerti alasan dari absennya Namjoon setiap malam. Tangan Namjoon bergerak membelai rambut Hani yang hitam dan halus, membantu istrinya memeluk mimpi indah yang tidak pernah Namjoon rasakan.

Berita mengenai pernikahan Jeongguk dan Jihyo jadi bumbu yang memperburuk mimpinya belakangan ini. Bayang-bayang mengenai ketiga temannya yang mati terus saja datang, tidak peduli seberapa keras Namjoon menolak. Tidak ada malam berlalu tanpa kematian mereka di kepalanya. Namjoon menghela napas, meneguk sisa teh lotus dalam cangkirnya. Berupaya mengusir segala jenis pikiran negatif di dalam kepala, meski harus puas menerima upayanya berakhir sia-sia.

Mungkin segalanya akan jadi lebih mudah andai ia saja yang mati. Barangkali Jimin akan mengurung diri, Jeongguk akan pergi ke medan perang tanpa berpikir dua kali, dan Hoseok akan mabuk setiap malam lantaran merasa kehilangan. Tapi setidaknya, mereka bersama-sama. Sebab andaikata maut mengecup dahi ketiga temannya kelak, Namjoon sangsi ia bisa menanggung semuanya seorang diri.

A Walk Past TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang