Author notes:
Maafkan segala typo di antara kita.
Panggilan Jeongguk setelah menikah dengan Jihyo di chapter sebelumnya adalah Wangja-nim. Di era Joseon, mereka manggil suami dari putri dengan Buma, tapi aku gak nemu panggilan di era Goryeo. Wangja-nim biasanya digunakan untuk anak raja langsung, jadi selanjutnya aku akan panggil Jeongguk dengan Jeongguk-gun.
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
12 : The Sharp Edge of a Knife (Bagian 1)
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
Jeongguk sedang duduk di serambi halamannya saat Jihyo membuka pintu. Lelaki itu menoleh sebentar, melempar padanya sebaris senyum sebelum kembali memandang pada bulan yang belum penuh. Keringat membanjir di leher dan dahi Jihyo, membuat gaun tidurnya menempel pada kulit begitu erat. Perempuan itu meraih selimut, menariknya keluar dan duduk di sisi Jeongguk. Seringkali ia bertanya-tanya apa yang menarik dari langit dan bulan sampai Jeongguk gemar sekali menghabiskan malam untuk memandangi mereka sampai fajar datang.
Beberapa botol arak yang sudah mengering tergeletak di sisi Jeongguk yang masih hanyut dalam lamunan. Jihyo memandang lelaki itu dengan iba. Menyedihkan sekali kami berdua, pikirnya. Lebih baik jadi gila sungguhan saja daripada terus memasang topeng pengantin bahagia begini.
"Kenapa tidak tidur?" suara Jeongguk yang dalam memecah keheningan di tengah mereka berdua. Jihyo melirik, menemukan suaminya dalam keadaan yang begitu berantakan. Kantung matanya membengkak, dan hidungnya memerah. Barangkali habis menangis, dan Jihyo pikir tidak perlu repot-repot bertanya untuk tahu siapa yang laki-laki itu tangisi.
Jihyo membuang napas panjang, kembali mengikuti Jeongguk memandang langit malam. "Mimpi buruk," jawabnya singkat.
"Aa," Jeongguk bergumam. Tidak perlu bertanya, pikirnya, untuk tahu pemicu mimpi-mimpi buruk yang datang pada Jihyo. Sejak hari dimana Jeongguk melepas Jimin dan Hoseok pergi ke utara, perempuan itu terus mendapat mimpi buruk setiap malamnya. Mungkin khawatir, takut kalau ada hal buruk yang datang pada Jimin sedang ia tak bisa melakukan apa-apa.
Bukan berarti sebelum menikahi Jeongguk, Jihyo bisa melakukan sesuatu untuk lelaki yang dicintainya itu. Hanya saja reputasi Jeongguk di Gaegyeong begitu tinggi, sehingga tidak hanya rakyat biasa, bahkan seorang putri percaya tidak akan ada hal buruk datang selama Jeongguk masih hidup bersama mereka.
"Aku bertemu dia hari ini," suara Jeongguk terlantun lagi. Ada kesedihan yang kental dalam setiap baris yang lelaki itu ucap, kesedihan yang setiap malam Jihyo tampung dengan baik. Sekarang setelah dipikir lagi, mereka mungkin bukan pasangan yang saling mencintai. Tapi mereka jelas rekan yang tahu cara saling membantu.
Jihyo mengukir senyuman lemah. "Lalu?"
"Dia memohon padaku agar aku tidak pergi." Jeongguk merasakan suaranya sendiri bergetar. Kepalanya memutar kembali ciuman tadi, juga ratapan Taehyung secara naluriah. Ia sungguh ingin kembali ke sana, membawa laki-laki itu pada pelukannya dan tidak pernah melepaskannya lagi sampai di akhir usianya.
"Kau seharusnya tinggal," Jihyo berbisik lirih. "Seharusnya kalian lari, menjauh dari segala hal yang tidak pernah memberi kalian apapun selain nestapa."
Tawa Jeongguk terlantun dengan payah, terdengar putus asa. Suaranya membangkitkan rasa pilu yang setiap hari berusaha Jihyo tangkis dengan segala cara. "Dan mengkhianati prajuritku? Meninggalkan mereka yang sudah mati di depan mataku? Membiarkan wajah kekasihku ditempel di setiap kota, membiarkan ayahmu memberi imbalan besar atas kepalanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Walk Past Time
FanfictionFrustasi dengan tuntutan dari keluarganya, juga tekanan dalam perjalanan karirnya di militer kerajaan, Jeon Jungkook menemukan hiburan dalam setiap petik gayageum seorang gisaeng. "Today the moon shines brighter on the blank spot of my memories."...