Author notes:
Hai! Terima kasih karena masih setia menunggu cerita ini. Terima kasih karena sudah bertahan sejauh ini. Ada banyak yang harus dan mesti diperbaiki dari cerita ini, ada banyak kekeliruan, ada banyak ketimpangan cerita, tapi kalian masih sudi membaca. Aku terharu banget!
Selamat datang di chapter terakhir A Walk Past Time. Terima kasih sudah menunggu. Epilog akan aku terbitkan nanti, mungkin akan terdiri lebih dari satu bab, semoga aku sempat nulisnya.
Semoga kalian suka.
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
20 : A Walk Past Time
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
Peperangan menyala lagi pada sinsi(1). Ribuan prajurit istana yang berada di bawah komando Lee Minhyuk mengelilingi barak prajurit Jeongguk di luar gerbang timur. Sebagian besar pasukan Jeongguk dimobilisasi ke bagian tenggara demi menjaga rekan-rekan mereka yang masih terkapar tidak berdaya. Jeongguk dan Namjoon sendiri, yang meski penuh luka, berdiri dengan gagah di bagian depan. Sejak dulu Jeongguk tidak terlalu menyukai Lee Minhyuk. Laki-laki serba bisa itu adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Jeongguk merasa resah. Ia tidak menyukai perasaan resah, membuatnya ikut tidak menyukai Minhyuk.
Ada lebih banyak prajurit dari yang semua Jeongguk perkirakan, padahal ia sudah hampir yakin kalau baik Hoseok maupun Jimin sudah berhasil menyusup. Barangkali karena para prajurit dan petinggi militer tidak terlalu menganggap penting kedua rekannya. Barangkali hingga sekarang mereka masih menganggap bahwa Jeongguk adalah duri dalam daging-daging keserakahan mereka. Sementara Hoseok dan Jimin hanya pemeran pembantu yang tidak berharga.
"Kau punya ide bagus?" Namjoon berbisik, sedikit gentar juga menghadapi banyaknya prajurit memandang nyalang pada mereka. "Mereka menatapku seolah ingin memisahkan tulang-tulang dengan daging-dagingku."
"Percayalah, medan perang selalu seperti itu," Jeongguk membalas.
Namjoon terkekeh lirih, terdengar sedikit tidak tulus sebab siapa kalau boleh jujur kalimat Jeongguk tidak terdengar menenangkan sama sekali.
"Apa yang akan kau lakukan?" Namjoon bertanya lagi. Hatinya berdebar keras tanda tak tenang. Bukan karena Namjoon takut mati, tapi Namjoon takut pada ketidakpastian. Jika harus mati, maka matilah. Jika ada harapan untuk hidup, sekecil apapun harapan itu, Namjoon ingin bertahan.
"Kita bertahan dulu. Tidak bisa lama, tapi setidaknya bisa memberi waktu bagi Soobin menghubungi Han Seong."
Namjoon terkekeh lagi. "Terdengar seperti rencana bunuh diri yang sempurna."
Jeongguk balas tertawa namun tidak mengatakan apa-apa.
Lee Minhyuk berdiri dengan pedang terangkat tinggi. Matanya yang kecil menatap nyalang pada Jeongguk, memberi sensasi dingin di tengkuknya; hal yang jarang Jeongguk dapat saat menghadapi lawan. Lee Minhyuk menyunggingkan senyum, menyapa Jeongguk lewat keangkuhan yang terpancar jelas di kedua matanya. Jeongguk tidak membalas senyuman itu, ia hanya mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya dan mencoba untuk mencari celah di antara himpitan yang ia terima.
Sejujurnya, untuk tetap menjadi waras dalam keadaan seperti ini adalah hal yang luar biasa. Tapi Jeongguk pernah menghadapi ketimpangan jumlah prajurit sebelumnya, dan kalau boleh berterus terang, ia tidak begitu takut menghadapi kematian. Hanya saja sejak dia datang, Jeongguk memiliki banyak harapan, dan harapan-harapan itu adalah benang yang tetap mengikatnya dengan kehidupan. Ia bisa saja mati di sini, tapi Jeongguk sebisa mungkin ingin bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Walk Past Time
FanfictionFrustasi dengan tuntutan dari keluarganya, juga tekanan dalam perjalanan karirnya di militer kerajaan, Jeon Jungkook menemukan hiburan dalam setiap petik gayageum seorang gisaeng. "Today the moon shines brighter on the blank spot of my memories."...