Author notes:
Dan aku gagal lagi menjadikan ini bab terakhir. Sejujurnya nulis bab ini adalah yang paling berat dari semua bab di A Walk Past Time sejauh ini, dan aku harap tidak berakhir buruk. Semoga kalian suka. Dan semoga minggu depan aku punya waktu nulis bab terakhirnya.
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
19 : To Howl or To Fly
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
Gerbang istana tertutup rapat sejak tengah malam. Obor-obor menyala terang, sesekali bergoyang digoda angin. Beberapa kali suara katydid terdengar bersahutan dengan katak yang tinggal di dalam kolam-kolam istana. Beberapa orang penjaga berjalan kesana kemari, tidak membiarkan pengawasan mereka melonggar barang sebentar. Setiap kali dua atau lebih kelompok penjaga itu berpapasan, mereka akan bertukar pandang lalu berjalan lebih cepat dan memperketat pengawasan. Kematian Putri Nayeon seolah menjadi tombak pengingat bahwa bahkan nyawa seorang putri tidak ada harganya saat ia tidak lagi berguna bagi kaisar.
Lantas kesempatan apa yang orang-orang tidak berharga seperti mereka miliki?
Gaegyeong malam itu dimakan ketakutan. Semua orang mengunci pintu dan jendela mereka rapat-rapat. Ibu memeluk anak-anak mereka dengan erat di atas ranjang, sedang para ayah berjaga di dekat pintu masuk dengan jantung berdebar keras. Beberapa orang memilih untuk mengungsi ke Hanyang atau kota-kota dimana kerabat mereka tinggal demi menghindari konflik. Tidak peduli betapa baik predikat Namjoon di ibukota, atau betapa banyak pengorbanan yang Jeongguk beri untuk Goryeo, semua orang tetap merasa takut. Selama lebih dari satu abad sejak Taejo mendirikan Goryeo, orang-orang belajar dari pengalaman bahwa kaum bangsawan tidak pernah benar-benar memperhatikan mereka. Lantas bagaimana mereka bisa percaya bahwa nyawa mereka tidak akan menjadi batu pijakan bagi orang-orang itu demi mendapat kekuasaan?
Ratusan ribu prajurit pemberontak sudah berada di perbatasan antara Andong dengan Hanyang malam itu. Hanya perlu sekitar dua hari untuk tiba di Gaegyeong, tapi semua orang sudah tidak lagi berani keluar dari rumah mereka, takut akan menjadi satu dari banyaknya manusia bergelimpangan di jalan dengan bermandi darah mereka sendiri.
Jihyo mengunci diri di dalam kamarnya, menyalakan lilin berbau melati dan memandang langit dengan air mata menganak sungai di atas pipi. Kembali ke kamar ini mengorek kembali ingatan Jihyo mengenai Nayeon. Mereka pernah tertawa dan menangis bersama di sini, bicara tentang apa saja. Nayeon akan membantunya menata rambut, dan Jihyo akan menceritakan isi buku terakhir yang ia baca sambil tertawa gembira. Masa-masa itu rasanya berlalu lama sekali, dan Jihyo tidak lagi dapat membendung kesedihan setelah sadar bahwa tidak ada satupun dari kenangan-kenangan itu bisa terulang.
"Janji ya, Eonni, kita akan selalu bersama!"
Jihyo ingat Nayeon menyanggupi janji itu dan mereka tidur dengan nyenyak di atas ranjang Jihyo setelah bicara sehari penuh. Tidak ada yang menyayanginya sebesar Nayeon, tidak ada yang menghargainya setinggi Nayeon. Dan kakak perempuannya itu sudah pergi sekarang. Nayeon seringkali bercerita kalau ia ingin hidup dengan tenang di pinggir kota. Ibu Nayeon meninggal saat ia lahir, menyisakan Nayeon sendirian di istana yang terlalu berbahaya untuk anak seumurnya. Sejak kecil hidup Nayeon tidak pernah mudah. Permaisuri tidak menyukainya karena kaisar dulu begitu mengidolakan ibunya. Selir-selir yang lain juga tidak pernah peduli padanya. Ia tidak lebih bersinar dibanding Putri Yoona, Putri Pertama yang meninggal di usia remaja karena penyakit langka. Ia juga bukan berasal dari kalangan bangsawan karena ibunya hanyalah putri seorang pedagang kaya yang hidup berpindah tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Walk Past Time
FanfictionFrustasi dengan tuntutan dari keluarganya, juga tekanan dalam perjalanan karirnya di militer kerajaan, Jeon Jungkook menemukan hiburan dalam setiap petik gayageum seorang gisaeng. "Today the moon shines brighter on the blank spot of my memories."...