⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
09 : Runaway
⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
Bau kayu manis mendominasi ruangan yang diisi dua orang lelaki itu, menempel pada sarung bantal dan celah kayu. Bagi Namjoon, bau-bauan yang disukai ayahnya terlalu kental bagi hidungnya, tapi ia tidak protes. Hani menyukai bau kayu manis, dan Namjoon perlahan-lahan mencoba menyesuaikan diri dengan selera istrinya yang agak seperti orang tua. Di atas meja, duduk dua cangkir teh ginseng yang masih mengepul. Uapnya menari-nari di udara sebelum lenyap dalam hitungan detik, tapi Namjoon punya waktu yang cukup untuk memperhatikan mereka sebelum lenyap tak bersisa.
Malam itu sudah memasuki musim semi, tapi semilir angin musim dingin belum sepenuhnya pergi. Hanya ada keheningan selama bermenit-menit yang Namjoon rasa teramat panjang. Keheningan yang membuat napasnya tercekat di kerongkongan.
"Pernikahan putra kedua Jenderal Besar Jeon dengan Putri Jihyo tinggal tiga hari lagi," suara ayahnya yang berat dan serak adalah hal pertama yang memecah keheningan panjang yang memuakkan itu. Namjoon berjengit, meski sekuat tenaga berusaha menyembunyikan genggamannya pada pinggiran cangkir teh yang mulai menguat.
Tentu saja ia tahu. Berita soal pernikahan Jeongguk ada di mana-mana, terus berulang dari mulut ke mulut seolah orang-orang di Gaesong tidak punya pembicaraan yang lebih baik. Si Serigala Hitam, bujangan paling diinginkan di Gaesong akhirnya menyudahi masa lajangnya dengan perempuan yang dianggap paling setara dengannya; seorang putri. Kabar itu berdengung di telinga Namjoon setiap malam, menyeret sedikit demi sedikit keinginannya untuk tidur hingga habis tak bersisa. Hani terus menerus khawatir, tapi Namjoon tidak bisa melakukan apa pun.
"Keluarga Im di Donggyeong sudah setuju untuk membantu kita." Namjoon berujar, menandaskan tehnya dalam satu kali tegukan.
Ayahnya menggumam, tampak larut dalam pikirannya sendiri selama beberapa saat. "Pasukan Keluarga Im tidak sebesar pasukan Naga Laut. Ini akan jadi masalah."
Tentu saja, pikir Namjoon. Pasukan Naga Laut adalah kesatuan militer yang sudah ada bahkan sebelum Goryeo berdiri. Orang-orang berbakat yang bersumpah setia kepada keluarga Jeon dan keturunannya. Orang bijak bilang, menangkap ular harus dilakukan dengan menangkap kepalanya lebih dulu; yang dalam hal ini adalah Jeongguk. Tapi Namjoon tahu sahabatnya dengan baik, dan Jeongguk bukan orang yang akan menyerahkan kesetiaannya dengan cara yang mudah.
"Akan lebih baik kalau keluarga Jeon tetap netral seperti dulu," ayah Namjoon menggoyang cangkir teh di tangannya. "Sekarang semuanya akan menjadi lebih sulit untukmu."
Senyum miris Namjoon sembunyi dibalik cangkir teh kedua yang diteguknya. Ayahnya mungkin tidak tahu, tapi segala hal sudah menjadi lebih sulit bagi Namjoon sejak ide mengenai pemberontakan ini digagas oleh faksi kiri. Setiap hari yang menemaninya adalah mimpi buruk yang tidak pernah berhenti. Ayahnya tentu tidak tahu; ayahnya tidak akan mau tahu.
"Haruskah kita melakukan ini, Abeoji(1)?" Namjoon bertanya. Ibu jarinya mengusap pinggiran cangkir teh, sementara matanya memandang permukaan meja selagi pikirannya melanglang buana.
"Kau ragu?" Ayahnya bertanya. Matanya yang berwarna hitam keabu-abuan menatap Namjoon dengan awas. "Setelah segala yang kita lakukan, kau mau ragu-ragu sekarang?"
Benar, Namjoon memberi sugesti pada dirinya sendiri. Ia harus ingat kenapa dirinya memutuskan untuk melakukan ini, kenapa mereka harus mempertaruhkan nyawa demi sebuah mimpi. Kenapa Namjoon melangkah menjauh dari sahabat-sahabatnya yang dijaganya sejak ia masih kecil sekali. Namjoon harus ingat pada setiap mimpi yang ia dambakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Walk Past Time
FanfictionFrustasi dengan tuntutan dari keluarganya, juga tekanan dalam perjalanan karirnya di militer kerajaan, Jeon Jungkook menemukan hiburan dalam setiap petik gayageum seorang gisaeng. "Today the moon shines brighter on the blank spot of my memories."...