18 : The Red Moons - unedited

1.5K 282 97
                                    

Author notes:

Jadi gini, aku tuh tadinya gak mau update sekarang, tapi minggu depan kerjaanku numpuk dan aku sebisa mungkin mau namatin fanfic ini minggu ini juga. Doain aja ya. Mungkin masih ada 1 bab lagi, dan 1 epilog setelah ini.

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

18 : The Red Moons

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

"Di malam dimana bulan berwarna merah, akan lahir anak yang kelak bisa mengubah sejarah."

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

Bunyi Ramalan Bulan Merah yang lahir pada tahun ketiga Kaisar Mokjong itu menempel di papan-papan pengumuman di seluruh Goryeo, bersama dengan tafsir yang lahir darinya. Ada banyak persepsi lahir dari ramalan yang hanya berisi empat belas kata. Beberapa cendekiawan sepakat bahwa 'bulan merah' yang dimaksud adalah malam pergantian tahun dimana setiap ornamen berwarna merah memenuhi langit dalam festival lentera. Beberapa lagi menganggap bahwa 'bulan' dalam ramalan itu mengacu pada malam bulan purnama dan 'merah' mengacu pada provinsi Naju, provinsi paling selatan di Goryeo. Atau versi sederhana, adalah dimana bulan terlihat berwarna merah (meski fenomena seperti ini hampir tidak pernah terjadi).

Semua orang sepakat bahwa siapapun anak yang diramalkan kelak akan menduduki kursi naga, sebab merah adalah warna yang hanya bisa dipakai oleh kaisar, atau atas seizin kaisar.

Di tahun ke sembilan pemerintahan Kaisar Yejong, lebih dari seratus tahun setelah ramalan itu keluar, seorang anak lahir bersamaan dengan kebakaran besar yang melanda kediaman Kim di Gangseong. Asap dan api kebakaran menyala tinggi, menutupi langit dan bulan purnama yang menyinari Gangseong malam itu. Semua orang keluar dari kediaman mereka, bahu-membahu mengangkut air untuk memadamkan api. Bulan malam itu bersinar begitu menyilaukan, menyaksikan api melalap setiap benda yang ada di kediaman Kim.

Beberapa hari sebelumnya, jauh di perbatasan utara, seorang anak lahir di tengah genangan darah prajurit yang meregang nyawa. Denting pedang beradu menenggelamkan tangisan anak itu yang merobek malam. Bayi itu, yang berlumuran darah ibunya, menangis dan menendang dengan berani. Di tengah medan perang dimana setiap nyawa bisa saja melanglangbuana, anak itu lahir di tengah kematian yang bergelimpangan.

Di tempat lain, jauh dari peradaban, seorang perempuan tua terkekeh. Dinding gua yang lembab memantulkan suara kekehannya berkali-kali. Tetes-tetes air dan kelelewar tidur yang selama ini menjadi kawannya bercengkerama dan menghabiskan usia bergeming seolah menulikan telinga dari kekehannya yang terlantun tiba-tiba.

"Sudah dimulai," perempuan itu membisik pada udara kosong yang tidak pernah membalasnya.

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

Erangan Jihyo terlantun membelah malam yang sepi di tengah halaman timur istana kaisar. Perempuan yang malam itu menggunakan hanbok berwarna biru tua itu terduduk dan meronta, berusaha keluar dari pelukan ibundanya yang menahan Jihyo dengan sekuat tenaga. Di hadapannya, seorang perempuan dan seorang laki-laki duduk di kursi dengan tubuh berlumur darah. Kulit paha dan lengannya terbakar dengan daging segar menonjol keluar setelah menyapa timah panas yang dengan sengaja ditempelkan ke sana.

"Katakan, apa saja yang sudah kau bocorkan pada Kim Namjoon." Suara berat dan nada tajam dari Lee Wonho bersahutan dengan tangisan Jihyo yang tidak juga berhenti. Lelaki itu duduk di hadapan sepasang suami istri itu dengan wajah kaku, sedang tangan mencengkeram dengan erat dudukan lengan kursinya demi menahan amarah yang siap tumpah.

A Walk Past TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang