15 : A Silent Dream - unedited

1.5K 301 106
                                    

Author notes:

This chapter might be a little off. Aku sedikit gak puas sama hasilnya, but please bear with it. Akan kurevisi saat sudah tamat nanti. Boleh minta koreksiannya?

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

15 : A Silent Dream

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

Paviliun Teratai siang itu sedikit ramai. Kaisar Jeongjeong duduk di salah satu kursi, menjamu anak-anaknya bersama sang permaisuri. Wangi bodocha(1) samar-samar terbawa angin yang membelai leher mereka. Putra-putrinya duduk dengan tenang di masing-masing kursi. Hanya Jihyo yang tidak muncul hari itu, mengingat ia tak bisa keluar dari rumah sebab harus berdoa bagi Jeongguk di aula leluhurnya. Keabsenan Jihyo sesungguhnya bukan perkara yang penting bagi semua orang di paviliun itu; semua orang kecuali Nayeon.

Perempuan yang berstatus sebagai putri kedua itu merasa khawatir dalam hatinya, namun berusaha menguatkan diri dengan mengingat bahwa Jihyo jauh lebih kuat darinya. Jinki akan mengusap punggung tangannya, membisikkan kalimat-kalimat menenangkan jika Nayeon tak bisa bangun dari kegusarannya. Entah bagaimana Jihyo kini, Nayeon tak punya kesempatan mengetahui. Penjagaan Pasukan Naga Laut di kediaman Jeon terlalu ketat, dan bahkan putri sepertinya tidak bisa menembus masuk. Nayeon tidak punya pilihan, ia hanya bisa percaya pada Jihyo, Jeongguk dan rasa hormat yang mereka bagi berdua.

"Kau tidak kelihatan bersemangat," suara lembut dari Permaisuri Gongye menelusup masuk ke telinga Nayeon, memutus lamunannya. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"

Nayeon tersenyum, berusaha menyembunyikan segala hal yang bersilang-sengkarut di dalam kepalanya lewat sebuah senyuman tipis. "Tidak ada, Yang Mulia."

Permaisuri Gongye melirik dari balik cangkir tehnya. Matanya menatap Nayeon tajam, seolah berusaha menelanjangi apapun yang perempuan itu sembunyikan. Tapi tidak banyak yang bisa ia gali selain sebuah senyuman lemah dari putri yang tidak terlalu diperhatikan istana. "Kudengar kau sedang banyak merajut belakangan ini. Bagaimana perkembangannya?"

"Putri ini merasa tersanjung," Nayeon menundukkan pandangan. "Buah tangan Putri ini masih tidak begitu baik. Sejauh ini baru menghasilkan dua pasang kaus kaki."

"Kaus kaki," Permaisuri Gongye mengulang. "Kedengaran hangat dan sederhana."

"Terima kasih, Yang Mulia."

"Bagaimana perkembangan dari Jenderal Jeon?" suara Kaisar menginterupsi. Lelaki tua itu memandang pada Hyeon, yang sedang memasukkan beberapa potong buah plum kering ke dalam mulut.

"Mereka masih dalam perjalanan. Butuh beberapa hari untuk bisa sampai di Danggyeong, Yang Mulia." Hyeon menjawab dengan tenang, mengutip ulang laporan yang bawahannya sampaikan dini hari kemarin.

Kaisar mengangguk. "Kudengar Jung Hoseok kembali?"

Hyeon menggigit bibir. "Benar. Letnan Jung langsung bergabung dengan pasukan Jenderal Jeon saat mereka baru sampai di Andong."

"Dan gisaeng itu?" Kaisar bertanya lagi. "Bagaimana keadaannya?"

"Dia tidak lagi menolak diberi makan. Kurasa dia akan baik-baik saja, Yang Mulia."

"Bagus," Kaisar menggumam. "Semua akan jadi sulit kalau dia tidak dalam keadaan baik."

Nayeon mendengarkan obrolan itu dalam diam, sambil menggigit kue beras yang terhidang di depannya. Perempuan itu meringis di dalam hatinya, mengingat entah sudah berapa kali ia habiskan minum teh bersama ayah dan saudara-saudaranya, mendengar mereka bicara mengenai pembunuhan, perang, penculikan, dan hal-hal menyakitkan yang tidak bisa ia cegah. Tak pernah bisa ia antisipasi, atau interupsi.

A Walk Past TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang