--094--

1.5K 183 15
                                    


Inspired by: The Guardian Of Devangel

***

Paris,

Ruangan megah nan luas itu terlihat kosong melompong. Seolah tak ada seorang pun yang menjadi penghuni rumah terbesar di komplek perumahannya. Meski tak sebesar istana di negeri dongeng. Tapi, tak ada yang menyangkal bahwa rumah milik seorang pengusaha sukses itu satu-satunya yang paling mencolok.

Tap tap tap

Suara langkah kaki terdengar menggema, memenuhi setiap sudut rumah sepi itu. Seorang remaja laki-laki sekitar berusia 15 tahun menapaki satu persatu anak tangga.

Langkahnya terlihat berat namun kesan tegas begitu nampak jelas. Berkali-kali ia menghela napas, tatapannya tertuju pada sebuah pintu tepat ketika ia menginjakkan kaki di anak tangga terakhir. Pintu yang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berada.

Pintu yang bertuliskan secret itu terlihat usang karena sang pemilik tak pernah sekalipun keluar dari balik pintu itu.

Dengan langkah pasti, pemuda ini berjalan ke arah pintu itu. Sesampainya, tanpa mengetuk pintu ia langsung masuk begitu saja. Tak peduli apakah si pemilik akan marah atau tidak, karena baginya percuma saja ia mengetuk pintu jika si empunya kamar sendiri tak mau beranjak dari tempatnya.

Ceklek

Pintu terbuka. Seperti biasa, setiap kali ia mengunjungi ruangan yang merupakan kamar pribadi itu selalu gelap. Semua gorden yang ada tak pernah tersingkap. Tak pernah membiarkan sedikitpun cahaya mentari masuk.

Ia meraba dinding lalu menekan saklar lampu hingga keadaan ruangan yang tadinya gelap gulita kini terang benderang.

Glek!

Menelan ludah. Ia mengamati keadaan kamar yang selalu--hampir setiap kali ia datang kamar ini selalu berantakan. Entah apa yang si empunya kamar lakukan tapi, dengan penuh kesabaran ia akan membereskan semua barang-barang yang berserakan kembali ke tempatnya semula.

"Untuk apa?"

Tepat ketika pemuda ini mengambil bantal yang tergeletak di lantai, suara datar si pemilik melontarkan pertanyaan padanya. Ia menoleh, menatap seorang perempuan yang tengah duduk di tempat tidur, duduk bersandar sambil memeluk kedua lututnya.

"Kak Rai," gumamnya menatap nanar sosok perempuan yang ia panggil Rai.

Rai menoleh, menatap kosong pemuda yang selalu--hampir setiap hari mendatangi kamarnya. Meski sudah berkali-kali ia usir tapi pemuda yang merupakan adik kandungnya itu tak pernah jera.

"Pergi!"

"Nggak!"

"Kubilang pergi!"

"Kak Ra-"

"IQBAAL!!!"

Iqbaal, pemuda yang setiap hari datang ke kamar sang Kakak itu memejamkan mata. Selalu dan selalu, bentakan juga kata-kata bernada kasar itu ia terima. Bukan hanya hari ini tapi sudah sejak dua tahun lalu. Sejak kembalinya sang Kakak ke rumah ini.

"Kak Rai mau sampai kapan kayak gini terus?" Iqbaal menatap lurus sang Kakak yang hanya menatap kosong selimut yang menutup kedua lututnya, mengabaikan Iqbaal.

"Hh," Iqbaal mendesah pelan, kemudian berjalan keluar kamar.

Ia memilih untuk menyerah, menghadapi sikap keras kepala dan keukeuh Kakak perempuannya memang bukanlah kemampuannya.

Prang! 

Baru saja Iqbaal sampai di ambang pintu kamar sang Kakak, bunyi benda kaca yang pecah terdengar. Sudah ia pastikan, pasti bunyi itu berasal dari lampu tidur yang sengaja Kakaknya lempar sembarang arah.

The Reger's ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang