--082--

2.1K 231 54
                                    


Inspired by: The Guardian Of Devangel

***

Belanda,

Sudah hampir satu jam Sean membujuk Agni untuk menemui Cakka yang saat ini sedang menunggu di luar setelah beberapa waktu lalu kembali dari ruang pemeriksaan. Ia menghela pelan saat melihat Agni yang saat ini meringkuk di balik selimut, menyembunyikan diri.

"Ag, lo harus dengerin penjelasan Cakka dulu. Di-"

"Harus berapa kali sih gue bilang, gue gak mau, Se."

Lagi, Sean menghela pelan mendengar nada tegas Agni yang saat ini benar-benar keras kepala. Ia menatap kamar Agni yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut, menoleh ke arah luar dimana Cakka saat ini duduk sembari menundukkan kepalanya.

"Gue cuma gak lo nyesel karena udah keras kepala, Ag. Gue yang tau betul alasan Cakka gak ngakuin lo dan bayi lo, jadi ... pikirin baik-baik." Setelah mengatakan seutas kalimat itu, Sean beranjak keluar meninggalkan Agni yang menggertakan giginya karena menahan diri untuk tidak menyahut.

Gadis itu menggenggam kedua tangannya sendiri, menekan dadanya kuat seraya memejamkan mata, berusaha menahan lelehan air mata yang siap meluncur kapan saja.

Sementara di luar ruangan, Sean memperhatikan Cakka dengan perasaan prihatin juga kasihan. Adik ipar kurang ajarnya itu terlihat sangat menyedihkan, walau ia sendiri tak begitu mengerti dengan jalan pikiran Cakka. Tapi ia tahu, pemuda di depannya ini sedang dalam keadaan tak baik-baik saja.

"Gue udah usaha, tapi Agni tetep gak mau." Sean menepuk pelan pundak Cakka, duduk di samping pemuda itu yang terlihat menerawang, entah apa yang sedang dipikirkannya, ia sendiri pun tak tahu.

"Thanks, lo udah mau bantu. Gue bakal masuk sekarang," Cakka berdiri dari duduknya namun ditahan oleh Sean.

"Agni masih butuh waktu, Kka. Jad-"

"Malam ini gue harus balik ke Jakarta, Se. Ada yang mesti gue urus," ucap Cakka datar tanpa menoleh ke arah Sean yang mengernyit tak mengerti.

"Maksud lo?"

"Penting gue jelasin ke, lo?"

"HEH?!"

Tanpa mempedulikan ekspresi lebay Sean, Cakka melenggang begitu saja masuk ke dalam ruang rawat Agni. Meninggalkan Sean yang saat ini bersumpah serapah karena ketidaksopanannya sebagai seorang adik ipar kepada kakak ipar.

Cakka melangkah masuk ke dalam, dengan perlahan ia mendekati brankar dimana Agni sedang meringkuk saat ini. Ia menghela napas, menggeleng pelan melihat kelakukan Agni yang sudah biasa baginya.

Sesampainya ia di dekat Agni, ia pun duduk di tepi brankar, tangannya terulur, menyentuh kepala Agni tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Mengelusnya pelan.

"Se, gue udah bilang kan kalo gue gak mau ketemu Cakka!" suara marah juga kesal milik Agni terdengar meredam di telinga Cakka, ia mendengus, tetap melanjutkan elusan tangannya di kepala Agni.

"Jangan lo pikir gue bakal luluh ya, Se! Gue gak gak bakal terpengaruh sama elusan lo di kepala gue, titik!"

Cakka tak menyahut, membiarkan Agni menganggapnya Sean. Ia masih ingin melihat sampai sejauh mana Agni menolaknya, ia ingin tahu.

"Se, gu-"

"Gue pamit."

Agni seketika menegang saat mendengar dua kata dari suara yang amat ia kenal. Suara dari seseorang yang ia benci namun juga ia cintai. Seseorang yang tak mau mengakui keberadaan anaknya sendiri. Seseorang yang tak lain adalah Cakka, suaminya.

The Reger's ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang