{17} Tentang Kita

294 29 8
                                    

"Setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan."

~Agatha~

Ruangan itu tampak hening setelah beberapa saat Agatha selesai menceritakan semuanya. Tentang hubungan palsunya dengan Alfin dan semua percakapannya di rooftop tadi.

Sepulang sekolah Agatha memilih untuk mampir ke rumah Devi, bersamaan dengan Febby yang juga berada di sana.

"Bentar deh. Jadi maksud lo kalian nggak pacaran? Semua yang gue lihat itu cuma pura-pura?" tanya Devi yang diangguki Agatha. Langsung mendapat tanggapan berupa helaan nafas dari keduanya.

"Gue nggak tau kalian sechildish itu. Buat apaan sih mainin perasaan kayak gini. Sekarang baper. Yang mau tanggung jawab siapa?" Devi tidak habis pikir dengan jalan pikiran keduanya.

"Gue kaget aja sih. Tapi itu juga nggak tepat juga. Gila nggak sih perasaan dijadiin mainan?" Febby ikut mengomentari.

"Gue kesini mau curhat, malah diceramahin," ucap Agatha mencebikkan bibirnya sedikit kesal.

"Ya gimana ya. Lo juga ngapain sih iya-iya aja di ajak ke hal yang nggak bener?!" tanya Devi sewot.

"Itu bener tau," jawab Agatha.

"Bener darimana coba? Nyakitin perasaan sendiri baru bener." Devi mengambil minuman di atas meja. Haus setelah menyelesaikan ucapannya.

"Terus lo mau apa Tha? Jadi ketemu Alfin ntar malem?" tanya Febby yang mendapat gelengan kepala dari Agatha.

"Gue nggak tau." Agatha menhapus air matanya dengan kasar. "Gue bingung harus ngapain sekarang. Di satu sisi gue juga sakit kalau gini terus. Tapi di sisi lain gue nggak mau kehilangan Alfin," lanjut Agatha membuat Devi dan Febby luluh. Merengkuh tubuh Agatha berniat menenangkan.

"Saran gue kalian selesaiin masalah ini secepatnya. Jangan ditunda-tunda terus. Perkara ntar lo sakit hati itu akibatnya karena main-main sama perasaan," ucap Devi yang membuat Agatha merenung.

"Gue tau Tha. Lo cewek yang nggak mudah lemah cumah hal kayak gini. Tunjukin lo itu Agatha yang kita kenal dulu," ujar Febby yakin membuat Agatha tersenyum tipis.

***

Sejak sepuluh menit yang lalu hembusan nafas terus terdengar dari ruangan berbentuk persegi panjang itu. Agatha masih saja bimbang dengan keputusannya sekarang.

"Cukup Tha! Lo harus datang ke sana sekarang juga. Anggap aja lo lagi ketemuan seperti biasa!" monolog Agatha. Menyemangati dirinya sendiri.

Menghela nafas sejenak, cewek yang tengah mengenakan baju sabrina itu segera menyambar tasnya dan segera keluar dari kamar.

Dengan niat yang sudah ia tanamkan sejak tadi, Agatha menjalankan mobilnya melewati jalanan malam kota Jakarta yang masih padat.

Alunan lagu Positions dari Ariana Grande cukup untuk membunuh keheningan di dalam mobil. Sesekali Agatha ikut bersenandung kecil untuk mengurangi rasa gugupnya.

Lima belas menit kemudian, mobil Agatha sudah memasuki area cafe. Cewek itu segera memposisikan mobilnya dengan benar di parkiran.

Menghembuskan nafas sekali lagi, Agatha turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam cafe. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan namun tak mendapati tanda-tanda cowok itu disana.

Agatha mengecek jam di pergelangan tangannya. Padahal ini sudah lewat lima menit dari waktu janjian mereka.

"Ada yang bisa saya bantu mbak?" Tiba-tiba pegawai cafe mendatanginya. Agatha tersenyum canggung.

"Meja kosong nomor berapa ya?" tanya Agatha.

"Mari mbak saya antarkan," ucap pegawai itu lalu berjalan terlebih dahulu yang otomatis langsung diikuti Agatha di belakangnya.

Setelah diarahkan ke meja kosong, Agatha memilih untuk menunggu di sana sambil memainkan ponsel.

Keadaan cafe yang tidak terlalu ramai membuat Agatha sedikit tenang. Memilih berselancar di dunia maya sambil menunggu kedatangan Alfin.

Namun sampai setengah jam Agatha menunggu, cowok itu belum juga memunculkan batang hidungnya. Agatha jadi kesal juga sedikit cemas.

"Jangan-jangan Alfin ada apa-apa lagi di jalan?" gumam Agatha. Cewek itu ingin menelfon Alfin, namun niatnya terhenti kala teringat sesuatu.

Dia sudah tidak ada hak

Daripada menunggu yang tidak pasti, Agatha memilih beranjak dari duduknya untuk pulang. Mungkin cowok itu lupa memiliki janji bertemu dengannya.

Sampai di parkiran, langkah Agatha terhenti ketika ia merasakan sesuatu melingkar di pinggangnya.

Tangannya dengan reflek memukul sang pelaku namun tertahan lebih dulu.

"Yakin mau pukul gue?" Tanya orang itu membuat Agatha bungkam. Berbalik, Agatha dapat melihat Alfin berdiri dengan senyuman tipisnya. Apa maksud cowok di depannya ini?

"Kenapa diluar?" tanya Alfin.

Agatha mengerjap pelan. "Maksud lo apa?" tanya Agatha balik tanpa berniat menjawab pertanyaan Alfin terlebih dahulu.

"Apaan sih? Kita masuk dulu yuk," ucap Alfin. Melangkah lebih dulu masuk ke dalam cafe.

Agatha berdecak pelan. Mau tak mau mengikuti langkah Alfin.

"Duduk dulu. Mau pesen apa?" Alfin berbasa-basi sambil membolak-balikan buku menu.

"Langsung aja!" Agatha berucap dengan tegas. Ia sudah lelah dan ingin segera pergi dari sini.

Alfin menatap Agatha sebantar. Menutup buku menu begitu saja. Mengambil nafas dalam-dalam sebelum memulai berbiacara.

"Gue berubah pikiran," ucap Alfin tiba-tiba membuat Agatha mengernyit. Bingung dengan ucapan cowok itu.

"Maksudnya?" tanya Agatha.

"Gue nggak mau semua ini berakhir," lanjut Alfin membuat Agatha terdiam. Fokusnya terpecah antara tidak percaya dan juga bingung akan maksud ucapan cowok di depannya ini.

"Lo tahu Tha? Nggak gampang nyari orang yang sefrekuensi sama kita. Kalaupun ada susah juga buat merjuanginnya."

"Langsung ke inti," potong Agatha. Tidak mau mendengar ucapan Alfin lebih lanjut.

Alfin berdehem sebentar. Mengenggam tangan Agatha yang berada di atas meja membuat cewek itu terkesiap atas perlakuan mendadak yang dilakukan Alfin.

"Dan gue udah nemu orang yang sefrekuensi sama gue. Dan orangnya lo sendiri."

"Gue pengen kita pacaran beneran aja," ucap Alfin dengan satu tarikan nafas. Menatap Agatha yang terkejut mendengar pengakuannya.

"Maksud lo? Gue nggak paham," ucap Agatha setelah terdiam cukup lama. Melepaskan tangan Alfin yang memegang tangannya.

"Lo pura-pura nggak paham atau beneran nggak paham?" Alfin berdecak pelan. Menyenderkan punggungnya ke kursi di belakangnya.

Menegakkan tubuhnya kembali dan menatap serius ke arah Agatha. Agatha yang ditatap seperti itu hanya bisa mengalihkan pandangannya.

Suatu kebohongan jika ia tidak mengerti maksud perkataan Alfin. Namun Agatha tak ingin berharap ataupun mengambil keputusan secara mendadak. Agatha hanya ingin mendengar pengakuan Alfin tentang dirinya. Tentang perasaan cowok itu kepadanya agar ia tak bertanya-tanya lagi.

"I want you to be mine. Apa itu nggak cukup buat lo bertahan sama gue?" tanya Alfin membuat Agatha terdiam.

~Agatha~

Janlup vote dan comment sebanyak-banyaknya-!

See ya❤

AGATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang