"Han, tolong ambilin handuk di teras belakang. Kakak lupa."
Karin berteriak dari dalam kamar mandi.
Hana yang sedang membaca buku Biologi di dekat kamar Karin, segera memberi tanda pembatas halaman terakhir dan berjalan cepat menuju tempat handuk.
Dia melewati meja ruang tamu dan langkahnya sesaat terhenti melihat sebuah foto dalam frame berbentuk hati, seorang lelaki memeluk bahu Kak Karin dari belakang.
Hana mengernyitkan dahi. Kayak kenal. Oooh... Om Barra? Yang duduk di sebelahnya pas di pesawat? yang menemukan KTPnya dan berbaikhati menitipkan ke bagian "Lost and Found" bandara?
Hana teringat cincin yang dipakai Barra. Jadi Kak Karin adalah calon istrinya Om Barra? Senyum Hana mengembang, dia tidak menyangka dunia itu selebar foto ukuran 4R.
"Han, nggak pakai lama..."
Suara Karin terdengar lagi lebih menggelegar.
"Siap Kak Karin. Waiiit..."
Hana bersiap mengganti baju tidurnya dengan baju pergi, karena hari ini Kak Karin akan kontrol post rawat inap.
Kalau semuanya baik-baik saja, itu berarti sebentar lagi tugasnya selesai. Hana merapikan kerudungnya dengan peniti kecil dan menyematkan bros kecil berbentuk anak panda di sebelah kanan.
Suara telepon genggam Kak Karin berbunyi kencang. Tampak tulisan "Rumah Sakit Green Medika" di layar.
"Angkat aja Han, Kakak masih ganti pakaian."
Hana mengiyakan.
"Assalaamu'alaikum. Ya ini benar nomer hp Kak Karina. Ini kami akan perjalanan kesana. Dapat nomer 8 ya. Pasien dr Raihan Ramdani Spesialis Bedah? Oh, oke. Terimakasih."
Eh.... dr Raihan Ramdani, Papa? Jadi dokter yang mengoperasi Kak Karin, adalah Papa. Gawat... Bagaimana ini. Sepertinya Allah sedang menegur dirinya karena "bersembunyi" di sini.
"Kak Karin, maaf kayaknya Hana belum bisa ikut mengantar ke rumahsakit." Hana berkata pelan di depan pintu kamar.
Karin keluar dari kamar.
"Kenapa Han? Kamu sakit? Kecapekan ya karena kemarin temani belanja bulanan?"
Karin merasa bersalah. Gadis itu kemudian menelepon kakaknya.
"Kamu istirahat aja di rumah. Kakak sama Kak Barra aja."
"Beneran Kak, Hana ngga ikut ngga papa? Kak Karin nggak marah?"
Hana bertanya takut-takut. Karin menggeleng dan memberi isyarat agar Hana masuk kamar.
"Halo, Kak Barra. Kak, bisa kesini ngga, jemput ke rumah. Temani Karin kontrol ke rumahsakit. Ditunggu ya Kak. Terimakasih."
Karin tersenyum. Dia memastikan Hana sudah masuk kamar dan tidur lebih awal.
Hana menurut. Jujur memang dia masih mengantuk karena semalam mereka pulang jam 11 malam dari belanja di hypermart. Alasan lainnya, jangan sampai dia ketemu Papa di rumahsakit.
Dia berjanji dalam hati, besok pagi dia akan mencoba mengobrol dari hati ke hati dengan Kak Karin, untuk pamit pergi. Sudah saatnya dia kembali ke Semarang sesuai harapan Mama.
💕💕💕
Barra menggandeng tangan Karin yang berjalan pelan ke dalam ruang periksa.
"Assalaamu'alaikum. Selamat malam Mbak Karin, bagaimana kabarnya? Silahkan berbaring dulu."
Dokter Raihan menyapa ramah meski sudah terlihat letih dengan pasien yang masih antri menunggu di luar kamar periksa.
"Alhamdulillah baik Dok." Karin menjawab dengan santun.
Karin mulai terbiasa mengucapkan rasa syukur dengan Hamdalah, karena hampir tiap hari mendengar Hana berdzikir.
Ada saja yang dikerjakan gadis itu. Entah saat dia mengepel lantai atau menyiram bunga, Hana dengan earphone yang terhubung dengan ponselnya, hobi dzikir setiap pagi.
"Lukanya baik. Tidak ada infeksi. Saya rasa pekan depan sudah bisa aktivitas biasa, tapi jangan terlalu berat. Karena masih dalam masa pemulihan."
dr Raihan menjelaskan. Pria setengah baya dengan sebagian rambutnya yang mulai memutih menjelaskan tentang hasil pemeriksaan. Apabila sudah tidak ada keluhan, Karin tidak perlu kontrol lagi.
"Terimakasih Dokter.
Kak, Karin duluan keluar ya. Mami telepon, nanyain hasil kontrol lukanya gimana."Barra mengangguk, ia masih menunggu dokter Raihan menulis resep untuk adiknya. Lelaki itu mengetukkan jarinya pelan di meja. Pandangannya tiba-tiba teralih pada sebuah foto keluarga di meja dokter Raihan.
"Ini anak-anak Dokter?"
Dokter Raihan mengangguk.
"Itu foto lebaran tahun lalu, waktu kami ke tempat Eyangnya anak-anak, di Semarang."
Barra tampak familiar dengan wajah gadis di dalam foto itu, meski gadis itu tampak menutup rapat badannya dengan jaket dan penutup kepala yang tebal.
"Kok saya kayaknya familiar dengan gadis yang ini, Dok. Apa mungkin kami pernah bertemu di Semarang ya? Saya baru pulang dari sana."
Dokter Raihan tanpa ia duga, tertegun. Diletakkannya kacamata di atas meja.
"Ini anak pertama saya, Alvino, dia residen bedah tahap akhir, tinggal menunggu wisuda. Ini Erin, anak kedua saya, baru lulus dokter dan sudah praktek di klinik kecantikan. Dan yang terakhir ini namanya Hana."
Deg... Benar dugaannya. Mata elangnya tidak pernah salah.
"Kami kira Allah tidak akan menitipkan lagi satu nyawa di rahim istri saya. Tapi takdir berkata lain, di usia lewat 35 tahun, Mamanya Hana hamil dan melahirkan putri bungsu kami.
Dia baru lulus SMA tahun ini. Sekarang Hana tinggal di Semarang, tempat Eyangnya."
Tinggal di Semarang? Lalu apa kabarnya dengan Hana yang kini satu atap dengan adiknya.
Dokter Raihan masih betah mengobrol lama dengan Barra yang menjadi pendengar setia.
"Kalau boleh tahu, alamat rumah Eyang di Semarang, dimana ya Dok? Saya tiga bulan sekali memantau kinerja karyawan di Hotel Andromeda Semarang. Barangkali nanti suatu saat, saya bisa mampir untuk menengok putri Dokter."
Dokter Raihan bertambah antusias mendengar niat baik anak lelaki di depannya dan segera memberikan kartu nama dan alamat rumah Ibu mertuanya di selembar kertas.
"Jadwal operasi saya sampai akhir bulan ini masih padat. Ditambah undangan menjadi pembicara simposium di Kalimantan dan Bali.
Titip salam rindu untuk putri saya Hana. Bilang Papanya kangen dipijatin kalau pulang kerja. Saya ingin Hana cepat kembali ke Jakarta."
Tergetar Barra mendengar ucapan dokter Raihan yang menyembunyikan kegetiran dalam hatinya.
Hana adalah putri bungsu dari pasangan yang luar biasa sibuk. Karin pernah cerita, istri dokter Raihan juga seorang Internist terkenal yang kerap masuk layar kaca di acara konsultasi kesehatan.
Pertemuan terakhirnya dengan Hana, menyisakan senyum di wajah Barra, mengingat gadis itu masih giat belajar dengan buku pelajaran di depannya dan selalu tertidur di meja.
Tanpa orangtuanya ketahui, gadis itu ingin meraih impiannya untuk kuliah dan juga membahagiakan orang-orang yang dikasihi.
"Hana kangen Mama Papa, Kak Vino, Kak Erin... Kapan kalian kangen sama Hana? " tulisan di sticky note di dalam dekapan gadis itu, terlihat saat Barra hendak menyelimuti Hana yang tertidur di ruang makan.
Kini sepertinya Barra mulai tahu apa yang sedang terjadi dan pria itu berniat mengembalikan Hana sesuai keinginan gadis itu. Pulang ke rumah Jakarta atau ke rumah Eyangnya di Semarang.
💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Chemistry Of Love (Tamat di KBM dan Karyakarsa)
RomanceDi balik wajah dingin seorang Barra Afnan, tersimpan hati lembut yang hanya ia berikan untuk kebahagiaan Mami Vera. Bahkan ia rela dijodohkan oleh gadis teman masa kecilnya, Aliza Nayyira, agar Mami dapat tersenyum. Akankah pertunangan mereka berl...