Relents

10.6K 694 3
                                    

"Morning Gemma!" sapa semua keluargaku yang sudah berkumpul rapih di meja makan. "Loh, kenapa Niall nggak membangunkanku?" tukasku dengan nada marah. Niall diam memandangiku, sesekali melirik mama dan papa. Ia seperti mencari alasan. "Sudahlah sayang, tadi pagi kakakmu harus mengurus Mack. Ia tak sempat membangunkanmu. Yaudah, kamu cepat mandi ya kita sarapan bersama" ucap mama. Sejujurnya, aku masih belum terima. Tapi demi adik baruku, apa boleh buat? Aku sebagai kakak harus mengalah.

**

Hari demi hari berlalu.

Aku menggambar wajah keluarga baruku. Krayon berserakkan dimana mana. Aku benar benar sedang serius. Ku dengar suara tawa Niall dan Mackenzie dibawah sana, seperti sedang asyik bermain. Sebenarnya aku kesal karna mereka tak mengajakku bermain. Aku sengaja lewat di depannya, agar Niall memanggilku dan mengajakku bermain. Tapi apa yang ku dapat? Mereka mencuekkanku. Tanpa banyak omong, aku berlari ke koridor dan mulai bermain piano.

"Same bed but it feels just a little bit bigger now. Our song on the radio but it don't sound the same. When our friends talk about you all it does is just tear. Cause my heart breaks a little when i hear your name. It all just sounds like.. Uu..uuu..."

Piano yang ku mainkan terhenti karena Niall tiba tiba berdiri disampingku.

"Asik banget ya main pianonya?" tanya Niall tersenyum kepadaku.

"Ya, begitulah" jawabku tak terkecoh dan melanjutkan lagu yang sedang ku nyanyikan.

"Aku dan Mackenzie ingin bermain ke taman. Kamu mau ikut?"

"Hm..." kataku seraya berpikir jernih. "Nggak deh. Aku sedang ingin bermain piano aja" sambungku.

"Baiklah, aku pergi dulu ya, Muah" Niall mencium pipiku lembut, dan itu mengingatkan masa masa indahku dengannya. Aku menatapi keduanya di balik jendela sebelum mereka benar benar sudah jauh. Aku menangis, seperti kehilangan Niall. Rasa khawatir ini semakin merengut otakku. Aku berlari ke kamar dan menulis cerita. Kalau sedang sedih seperti ini, biasanya aku melampiaskannya melalui cerita. Bagiku, menggambar dan menulis cerita adalah dua kebiasaan yang ditakdirkan untukku.

Ku pandangi tembok yang penuh dengan gambaran muka Niall. Fotoku dengannya. Mackenzie sudah berhasil merebut Niall. Kalau bisa menangis, aku pasti akan menangis di hadapannya. Tapi lagi lagi pikiran akan seorang kakak terlintas di otakku. Mungkin menjadi seorang kakak tidak gampang. Dan ini salah satu tahapnya.

Pukul 4 sore, mereka pulang. Jalan jalan kemana sampai menghabiskan waktu 6 jam?

"Wah asyik ya, kalian kemana aja?" tanyaku berjalan menemui keduanya yang sedang sibuk menenteng kantung plastik. "Apa itu?" tanyaku kembali.

"Kakak, aku dibelikan ini sama ka Niall. Boneka barbie yang baru. Aku suka banget. Dan banyak boneka yang bisa kita mainkan bersama loh kak. Makasih ya ka Niall. Mack sayang sama ka Niall" Mackenzie mencium Niall, begitu juga sebaliknya. Mereka terlihat sangat asyik bersama. Walaupun tanpa diriku. Ada apa sebenarnya? Kenapa aku jadi seperti ini?

"Niall aku ingin menggambar!" seruku.

"Iya, ambil aja buku gambarnya nanti aku temenin kamu menggambar ya" sahut Niall, tanpa mencuri pandanganku sedikit pun. Menoleh saja tidak.

"Aku maunya di ambilin! Aku capek naik tangga lagi!" kataku mulai sewot.

"Aku lagi sibuk babe. Kamu bisa kan ngambil sendiri? Aku janji akan menemanimu"

Saat itu, aku benci sekali mendengar alasannya itu demi mementingkan Mackenzie. Benci sekali. "Yaudah kalau nggak mau ambilin. Mending aku tidur aja!" aku menaiki tangga dengan rasa kesalku padanya. "Babe, babe wait" panggil Niall seraya menarik tanganku. "What?" tanyaku polos. "Aku ingin kamu menemuiku di teras, dalam 10 menit" pintanya. Aku tak menjawab permintaan itu. Aku dalam bingungku. Apa aku harus menemuinya? Atau tidak? Pertanyaan itu masih tersangkal di otakku. Waktuku sisa 2 menit lagi untuk berpikir. Aku memutuskan untuk menemuinya dengan membawa buku gambarku sebagai properti. Ku dapat Niall diteras sedang melihat fotoku dengannya.

"Babe?" panggilnya. Aku duduk disamping Niall. Mataku tak segan melihat wajahnya itu.

"Kamu marah denganku? Kenapa? Aku salah ya karna udah nyuekkin kamu dari tadi?"

Aku membalikkan badan. "Coba lihat" Niall merebut buku gambar yang ku pegang. Ia melihat gambar yang terakhir, yaitu gambar Niall sedang memeluk Mack. "Kamu iri karena aku lebih sayang sama Mack?" tanya Niall lagi.

"Nggak kok! Siapa juga yang...."

Aku tak sempat melanjutkan kalimatku. Air mata ini sudah terlanjur membasahi pipiku. "Hei... Aku berdosa telah membuatmu menangis, jangan seperti ini dong Gem. Aku sayang padamu" Niall menghapus air mataku, dan memelukku.

"Aku masih tetap sayang kok sama kamu, babe. Hanya aja, kamu kan sekarang udah jadi kakak, kamu harus tau rasanya ngalah itu gimana.. Kamu sendiri kan yang maksa mama buat adopsi adik perempuan? Dan sekarang Mack telah mewujudkan impianmu. Kamu harus menyayanginya, seperti kamu menyayangiku. Oke babe?"

Aku mengangguk. Niall seperti biasanya, mencium pipiku lembut. Emosiku yang tadinya memuncak, kini sudah mulai reda. Perkataan Niall membuatku sadar. Menjadi kakak, itu harus siap mengalah. Mackenzie telah mewujudkan mimpiku.

To be continued...

SISTER [njh.hes//COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang