1

13K 563 136
                                    

Seorang Dokter forensik keluar dari ruangan setelah selesai mengotopsi jenazah selama enam jam. Ia bersandar lemas di dinding, tangannya bergetar.

"Dokter Lidya?" Sebuah tepukan tiba-tiba menyapa Dokter yang ternyata bernama Lidya itu.

Lidya menoleh dan tersenyum ketika melihat sahabatnya berdiri tepat di sampingnya, "Veranda? Kok ke sini?" Lidya menarik tangan Veranda dari bahunya kemudian digenggam erat. Matanya menunjukan lelah yang luar biasa.

Veranda mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu berbisik pelan tepat di telinga Lidya, "Aku denger korban pembunuhan di Gedung tua itu. Aku langsung ke sini pas tau kamu yang otopsi. Aku mau liat."

"Ini pembunuh yang sama." Lidya mengambil sebuah bunga kering yang ia temukan di saku celana korban. Ini sudah korban ke dua puluh tiga dan pembunuh itu selalu meninggalkan jejak berupa bunga kering. Polisi sudah menyelidiki kasus ini selama beberapa tahun terakhir, tetapi belum terpecahkan.

"Aku mau liat, ayo."

Lidya mengangguk lalu mengajak Veranda masuk ke ruangan. Sebelum mendekati jenazah itu, tentu Lidya memberikan baju khusus dan masker pada Veranda.

Lidya menarik perlahan kain yang menutupi jenazah itu. Seketika, tubuhnya kembali merinding. Padahal ini bukan pertama kali ia mengotopsi jenazah, tetapi rasanya ini paling sulit. Air matanya bahkan sampai menetes tadi ketika mengetahui alasan dari matinya jenazah itu.

Veranda membuang wajahnya sebentar untuk mengatur nafasnya melihat jenazah itu. Sampai detik berikutnya, ia memakai sarung tangannya dan menyentuh kulit jenazah yang mengelupas itu. Tangan Veranda bergetar hebat, "Di-dia-"

"-Iyaa. Dia dibunuh dengan cara perlahan menggunakan gunting kuku." Lidya menutup kembali jenazah itu menggunakan kain karena khawatir Veranda akan takut. "Seluruh kulitnya dilupas dengan gunting kuku. Gunting kuku itu bahkan dimasukan ke dalam mulut korban."

Veranda menarik tangan Lidya untuk keluar dari ruangan itu. Ia melepaskan sarung tangan dan maskernya kemudian ia lemparkan ke tempat sampah, "Ini bukan pembunuhan biasa."

"Maksud kamu?" Lidya duduk di kursi, diikuti oleh Veranda yang duduk di sebelahnya.

"Ini bukan pembunuh biasa tapi dia psikopat. Dia bukan cuma pengen ambil nyawa korban tapi dia pengen liat korbannya menderita. Kita bayangin berapa lama korban itu berteriak ketika kulitnya dilupas sedikit demi sedikit sampai akhirnya penderitaan dan rasa sakit yang dia rasain, itu ambil nyawa dia." Air mata Veranda jatuh. Veranda membuang pandangannya lurus ke depan lalu mengusap kasar wajahnya.

"Iyaa aku tau. Polisi gak bisa mecahin kasus ini." Lidya menggeleng pasrah. "Aku gak bisa apa-apa."

"Kita turun tangan." Veranda menggenggam erat tangan Lidya. "Kita udah kenal selama satu tahun lebih. Kamu percaya sama aku 'kan?"

"Aku tau kamu sering baca novel detektif bahkan jadi penulis tapi ini berbeda. Kasus ini gak akan sesederhana yang ada dipikiran kamu. Kamu gak akan tau kesulitan apa yang akan kamu hadapin." Lidya menarik tangannya dari genggaman Veranda. Dari tarikan itu, seharusnya Veranda tau bahwa ia menolak penawarannya.

"Kita kenal udah lam-"

"-Justru karna kita udah kenal lama, aku gak pengen kamu kenapa-kenapa." Lidya menatap tegas pada Veranda yang baru saja menatapnya. "Ve, kendaliin diri kamu. Jangan ngurusin sesuatu diluar urusan kamu atau kamu akan celaka."

"Aku akan hadapin. Kamu pernah cerita, kamu punya temen-temen hebat. Kenalin aku sama mereka. Kita bisa kerja sama." Veranda kembali menggenggam tangan Lidya, berusaha untuk meyakinkannya.

"Kamu gak pernah berubah. Di saat orang lain berlari menghindari musibah, kamu malah pergi mendekati musibah."


***




BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang