11

2K 275 63
                                    

Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam, Lala sekarang sedang berada di taman belakang bersama Lidya, Melody, Veranda, Erika, Ariel dan Amel yang berdiri menghadap pada seseorang yang kini sedang duduk berlutut di tengah taman. Beberapa kali, pemuda itu dicambuk dari belakang oleh Selim, anak buah Lala. Itu membuat Amel harus memalingkan wajah berkali-kali.

Pemuda itu bernama Sahin, dia adalah penjaga yang berkhianat, Selim melihat pemuda itu sedang berkomunikasi dengan orang luar. Saat dikepung, ternyata pemuda yang bersama Sahin memegang sebuah pistol bersimbol mafia itu. Pemuda itu memilih untuk bunuh diri dengan menembakan pistol ke kepalanya sebelum ada introgasi.

"Siapa mafia itu?!" Selim memecut punggung Sahin dengan keras sampai Sahin menjerit. "Siapa lagi mata-mata yang ada di rumah ini?! Jawab atau kamu akan menderita sebelum kematian kamu!" Selim memutar pecutnya ke udara sebelum kembali didaratkan pada punggung Sahin.

Sahin menunduk, air matanya menetes karena rasa sakit di punggungnya. Sesaat, ia mengangkat kepala untuk menatap Veranda. Ditatap seperti itu, Veranda langsung memalingkan wajah ke arah lain. Sahin mengalihkan pandangan pada Lala yang berdiri paling depan dari mereka. Tatapan Lala sangat tajam seperti pedang yang siap menebas siapapun yang berani menatapnya.

"Ada banyak mata-mata di rumah," ucap Sahin dengan suara serak.

"Siapa?!" bentak Selim keras.

Sahin malah tersenyum sinis, "Mereka ada di sekeliling kalian." Sahin terbatuk keras dan meludah ke rumput. "Saya lebih baik mati daripada harus memberitahu pada kalian." Sahin mengerang keras ketika punggungnya kembali dipecut. Ia juga bisa merasakan darah mengalir disetiap sudut punggungnya. "Kalian terlalu bodoh! Kalian semua akan mati di tangan mafia itu!"

Lala menatap Selim kemudian mengangkat tangan kanan dengan tinggi. Melihat itu, Selim mengambil pedangnya. Tepat saat Lala menghentakan tangannya ke bawah, Selim memenggal leher Sahih sampai kepalanya jatuh tergeletak ke bawah. Lala menatap semua anak buah yang menyaksikan eksekusi itu, seakan mengancam semua pengkhianat akan berakhir seperti itu.

Amel terperanjat dan mundur beberapa langkah karena shock. Erika menoleh pada Amel, hendak mendekatinya. Namun, ia kalah cepat dari Ariel yang kini sudah memeluk Amel dengan erat. Erika menggigit bibir bawahnya dan menunduk tanpa melakukan apapun.

"A-aku takut, Ariel." Amel memeluk Ariel begitu erat.

Ariel melepaskan pelukannya kemudian mengusap kedua pipi Amel dan tersenyum seakan mengatakan semua akan baik-baik saja.

"Ka-kamu a-akan ja-jagain aku lagi 'kan?" Air mata Amel meleleh. Kejadian itu mengingatkannya pada kedua orang tuanya yang dipenggal begitu saja tepat di depannya.

Ariel mengangguk, menggenggam tangan Amel dan mencium dahi Amel cukup lama. Ariel mengusap kedua pipi Amel sebelum akhirnya menggenggam tangan Amel, menuntunnya untuk masuk rumah. Ia sempat saling pandang dengan Erika yang seolah bertanya ke mana ia akan membawa Amel. Ariel mendelik tajam pada Erika sebelum memalingkan wajahnya.

Lala tidak bicara apapun lagi, ia berjalan begitu saja ke rumah dengan emosi yang ia tahan habis-habisan. Jika mata-mata banyak bekeliaran di sini, bagaimana ia bisa menang? Lala benar-benar frustrasi membayangkan bagaimana keadaan keluarga setelah ini.

Selim menjatuhkan pedangnya kemudian berbalik ketika seorang pemuda mendekatinya, "Kenapa, Li?" tanyanya seraya mengusap kedua tangan. Dahinya sedikit berkerut karena bingung melihat wajah Ali yang tegang.

"Maaf aku gak bilang sebelumnya tapi minggu kemarin, kak Shani minta lima belas orang." Wajah Ali sangat tegang. Meski ia bisa sedikitnya menghela napas saat melihat Lala pergi. Gadis mungil itu, sangat menyeramkan di matanya.

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang