9

2K 303 86
                                    

"Siapa yang suruh kamu?!" Shani memukul keras wajah seorang pemuda yang kedua tangannya ia ikat di dinding, begitu juga kakinya yang sudah tertembak. Shani sengaja membawa pemuda ini ke rumah rahasia yang jarang sekali ditempati oleh keluarganya.

Ini sudah hampir tiga puluh jam, tetapi pemuda itu masih tidak mau mengaku meski wajahnya sudah babak belur, darah mengalir di beberapa sudut di wajahnya.

Shani mengerang kesal dan kembali memukul wajah serta perut pemuda itu, "Siapa nama kamu?!!!"

"Re-reno."

Shani mengangguk dan menarik kerah jaket pemuda yang baru ia ketahui bernama Reno itu, "Gak semua orang mampu bikin panah beracun sekuat itu, sekarang kasih tau aku, siapa yang nyuruh kamu?!" Shani menendang perut Reno dengan sangat keras. Lagi, Reno hanya diam.

"Biar aku aja."

Shani menoleh, melihat Viny yang baru saja datang dengan wajah kusut, matanya bengkak karena sepertinya terlalu banyak menangis. Shani berjalan menghampiri Viny kemudian mengusap pipinya, "Gracia gimana? Udah kamu bawa ke rumah sakit 'kan kemarin?"

"Udah dimakamin tadi pagi. Kamu keluar aja ya? Biar aku yang ngurusin dia." Viny berusaha untuk tersenyum pada Shani kemudian mengambil pisau lipat dari saku jaketnya.

Tanpa berbicara apapun, Shani berjalan keluar dari ruangan lalu menghempaskan tubuhnya di sofa. Shani mengambil anak panah di atas meja dan memperhatikannya dengan seksama. Shani seperti pernah melihat simbol yang ada di panah itu.
Ia memejamkan mata, memaksakan pikirannya untuk ingat di mana ia pernah melihat panah dengan simbol seperti itu.

Mata Shani kembali terbuka dengan cepat ketika ingat, itu panah yang menusuk Erika beberapa waktu lalu, bedanya ini beracun. Itu adalah panah milik mafia yang mengincar keluarganya. Namun, kenapa mafia itu ingin membunuh Viny? Apa karena anggota mafia itu menyangka Viny adalah salah satu keluarga Mahardika Abiputra?

Shani menepuk dahinya, kenapa ia baru memperhatikan panah ini? Tidak salah lagi, mereka pasti masih mengincar keluarganya. Bagaimana kondisi mereka sekarang? Shani tau, ia adalah yang paling kuat di sana. Jika ia tidak ada, apa mereka mampu melawannya? Lagipula, sepertinya juga ia sedang diincar.

Shani mengembuskan napas keras, melempar panahnya dan mengusap wajah kasar. Gracia mati karenanya. Jika ia tidak ikut, mungkin mafia itu tak akan mengincarnya. Meski Gracia bisa disebut saingannya, tetapi Shani tidak mau Gracia mati, apalagi dengan cara yang seperti ini. Namun, di sisi lain Shani merasa bersyukur, karena jika tidak ada Gracia, mungkin Viny yang mati. Shani tak siap kehilangan kebahagiaannya.

"Jadi siapa yang nyuruh kamu?" Viny mengusap pisau tajam miliknya, seakan tengah mengancam Reno.

"A-aku gak disuruh, aku anak buah Jonathan yang selamat kemarin." Reno terbatuk-batuk, mengeluarkan darah dari mulutnya. Ia memejamkan matanya sebentar. "Kamu ninggalin busur sama anak panah kamu di depan rumah 'kan? Harusnya kamu tau gimana rasanya anak panah itu!!"

Reno menatap Viny tajam dan tertawa keras, "Gimana rasanya kehilangan orang yang kamu sayangi? Itu yang kamu lakukan selama ini 'kan? Membuat banyak orang kehilangan nyawa dan keluarganya! Sekarang kamu merasakannya. Liat air mata konyol kamu, itu pembalasan dari aku." Reno tertawa lebih keras. "Aku pengen kamu mati, tapi ternyata rencana aku berjalan dengan lebih sempurna."

Viny mengepalkan tangannya kuat, urat lehernya menegang pertanda emosi telah menguasainya.

"Kehilangan orang yang kita sayang lebih menyakitkan dari kematian 'kan?!" Reno tak berhenti tertawa.

Shani tiba-tiba saja datang, "Kak, panah ini milik mafia yang selama ini ngincar keluarga aku, dia pasti nyangka kamu keluarga aku." Shani menunjukan panahnya. "Kamu liat simbolnya."

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang