12

1.8K 289 114
                                    

"Ada Shani?" tanya Melody tersenyum senang mengetahui akhirnya Shani pulang. Melody langsung menatap Lidya dan Amel. "Dia pulang."

Selim menunduk dalam, ia tidak berhak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, jujur tak tega rasanya melihat senyum bahagia mereka sementara di luar, ada sesuatu yang akan menjadi alasan atas jatuhnya air mata mereka.

Benar apa yang Shani ucapkan, dunia itu tempat berwarna hitam, tidak akan pernah ada yang tau apa yang terjadi di depannya.

"Mana Shaninya?" tanya Lidya berdiri.

"Dia nunggu di luar, kak. Dia pengen semua keluar." Selim masih menunduk tanpa berani menatap mereka satu persatu. Jika keadaannya tidak seperti ini, mungkin ia berani menatap mereka. Selim bergeser, memberi ruang pada mereka yang berlarian ke luar.

Melody yang pertama kali membuka pintu rumah. Ia tersenyum pada Shani yang berdiri di depan pintu. Namun, senyum itu tak bertahan lama ketika mendapati air mata di pipi Shani. Melody menarik pandangan ke arah lain, melihat belasan tandu tertutupi kain putih yang penuh dengan darah.

Melody menarik napas dalam kemudian diembuskan perlahan, "Aku denger kamu bertarung sama pejabat yang anaknya kamu bunuh di club itu? Terus, kamu menang 'kan?" tanya Melody berusaha untuk tersenyum meski matanya sudah berkaca-kaca.

Shani menggeleng.

Sekali lagi, Melody menarik napas berusaha meredam rasa sesak di dadanya. Meski menanyakan hal ini membuat dadanya bergetar hebat, tetapi ia harus segera bertanya.

Melody mengusap pipi Shani yang penuh dengan darah kering, "A-ariel mana? Kata penjaga gerbang, dia pergi."

Shani tidak menjawab, ia hanya menunduk dan memejamkan mata, bersamaan dengan air mata yang menetes di pipinya.

"Mana Ariel?!" Amel menggenggam tangan Shani. "Kak, Ariel mana?!"

Shani tidak menjawab. Mulutnya bungkam. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Shani merasa takut pada dunia bahkan untuk mengeluarkan suara saja ia tak berani.

"Ariel mana, kak?!" Amel mengguncang-guncangkan jaket Shani, meminta jawaban. "Ariel mana aku tanya?!!"

Veranda keluar, memperhatikan satu persatu tandu itu. Ia menatap Murad, "Buka semua kainnya."

Murad memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya membuka satu persatu kain yang menutupi jenazah temannya, hingga akhirnya ia sampai pada tandu milik Ariel. Dengan tangan bergetar, Murad membuka kain putih yang menutupi wajah Ariel.

"Ariel?!" Amel menjerit histeris dan langsung berlari menuju tandu Ariel. Tangan Amel bergetar hebat ketika tangannya menyentuh wajah pucat Ariel. "Ngga!!"

Amel mengguncangkan tubuh Ariel, "Ariel, bangun!!" Amel terus menerus mengguncangkan tubuh Ariel bahkan sampai memukul dadanya. Namun, tak ada pergerakan. Amel bahkan tak bisa merasakan embusan napas Ariel sedikitpun.

Dengan sekuat tenaga, Amel mengangkat tubuh Ariel dan memeluknya erat. Tidak membutuhkan waktu lama, tangis Amel pecah. Ia bahkan sampai membuka mulut lebar, memasukan oksigen ke dalam paru-parunya yang sangat sesak. "Ariel, sahabat aku, bangun!!" Amel menjerit begitu keras. "Kamu baru aja janji untuk gak ninggalin aku!"

Melody memejamkan mata dan langsung jatuh terduduk karena tubuhnya sangat lemas. Melody mengangkat kedua telepak tangan dan menatap nanar keduanya, "Ka-kamu tau? A-aku yang besarin dia selama ini, a-aku yang di-didik dia, a-aku yang latih dia pake tangan aku sendiri. Ke-kemarin kamu pergi, ga-gak peduli sa-sama kita dan se-sekarang ka-kamu dengan ba-bawa Ariel yang u-udah gak bernyawa?!!" Melody menangis histeris, sangat keras.

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang