30

2.3K 271 133
                                    

"Lepasin Veranda, Nal. Biarin dia pergi." Shania menatap Viny, menunggu apa yang akan Viny sampaikan pada Kinal, tetapi Viny malah diam padahal tadi sudah sepakat untuk bicara bersama. Shania mengacungkan jari tengahnya pada Viny kemudian berjalan mendekati Kinal yang berdiri menghadap ke jendela.

Dengan ragu, Shania melingkarkan sepasang tangannya di perut Kinal dan menyandarkan dagunya di bahu tegap Kinal, "Nal, Ve akan menang lawan seratus orang dari kita, Ve pernah kan ngabisin kelompok mafia di Jepang sendirian? Gue mohon, lepasin dia. Kita gak bisa kehilangan anak buah kita sebanyak itu."

"Kalo dia lepas, dia bakal bantu keluarga Mahardika Abiputra, Shani aja udah cukup bikin kita kalah, sekarang ditambah Veranda?" Kinal mengusap kelopak matanya, merasa sangat frustasi dengan masalah ini. Padahal dulu ia dan Veranda benar-benar sepakat akan bersatu untuk menghancurkan mereka, tetapi kenapa sekarang Veranda malah bergabung dengan mereka?

"Kita pasti menang, kamu percaya aku sama aku dan Viny kan?" Shania membalikan tubuh Kinal agar menghadap ke arahnya. "Apapun yang terjadi, kita berdua akan tetep berdiri di samping kamu, kita akan rebut apa yang jadi hak kamu, kita akan balas kematian orang tua kamu dan adik-adik kita."

Kinal mengangguk kemudian menatap Viny karena mungkin Viny juga mau meyakinkannya agar ia tak merasa takut sedikitpun.

Viny memejamkan matanya kemudian mengangguk yakin, "Aku akan bunuh Shani setelah Shani sembuh, aku bersumpah sama kalian berdua," ucapnya sangat berat. Sekarang, Viny tak punya pilihan lain. Veranda benar, ia harus kuat. Jika ia hanya bisa menangis, ia akan terus dianggap paling lemah di sini.

"Yaudah, kita bebasin Veranda." Kinal menyunggingkan senyumannya kemudian menatap Shania dan menggenggam erat kedua bahunya. "Tinggal enam hari lagi, aku pengen kamu kuat."

"Aku akan habisin siapapun yang akan berhadapan sama aku, aku akan bunuh dia." Shania sangat bersungguh-sungguh. Ya, ia tau lawannya nanti tidak akan semudah lawan-lawannya yang sebelumnya, tetapi Shania yakin akan menang. Shania akan pulang dengan membawa kemenangan pertama untuk keluarganya.

Sementara itu, beberapa meter dari kamar Kinal, tiga orang gadis sedang saling dorong mendorong.

"Kamu duluan, ah. Kamu paling bocah." Briel mendorong punggung Ratu untuk masuk lebih dulu ke kamar Viny.

Ratu menggeleng takut dan buru-buru berjalan memutar ke belakang punggung Briel, "Selama ini kamu kan yang ngerasa paling berani? Kamulah maju. Kita harus salim ke kak Ve."

"Fiony aja, dia paling dewasa diantara kita." Briel menarik tangan Fiony dan mendorongnya ke arah kamar Viny.

Fiony menggeleng-gelengkan kepala kemudian berjalan ke belakang punggung Ratu, "Aku gak mau masuk duluan. Kamu aja Briel, kan kamu paling songong."

"Payah kalian." Briel menepis tangan Ratu yang berlindung di belakang punggungnya. "Halah cuma kak Ve doang, biar aku duluan yang masuk. Aku akan peluk kak Ve dan bilang kalo dia gak seharusnya jadi pengkhianat kaya Zee." Briel menoleh ke belakang, menatap kedua sodaranya sambil menepuk dadanya. "Biar aku yang maju, kalian pengecut diem aja di belakang aku." Briel berdecih.

"Yaudah masuk duluan jangan ngomong terus." Ratu mendorong bahu Briel agar Briel kembali menghadap depan.

"Oke liat nih, di sini akan terbukti kalo cuma aku yang berani, kalian pengecut." Briel baru saja mengangkat tangan hendak mengetuk pintu, tetapi pintu itu tiba-tiba saja terbuka.

Veranda muncul, melipat kedua tangan di depan dada dengan tatapan dingin yang terlihat sangat menyeramkan di mata mereka. Veranda tak berkata apapun, menunggu mereka bicara.

Briel meneguk ludahnya dengan susah payah, lututnya bergetar, keringat tak berhenti mengalir dari wajahnya hingga tak menunggu waktu lama, ia ambruk tak sadarkan diri karena terlalu takut.

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang