39

2.9K 279 82
                                    

Shani keluar dari tempat gelap dan tersenyum senang saat sampai di tempat yang serba putih. Shani tentu mengenal tempat ini, ini adalah taman yang Viny buatkan khusus untuknya. Shani melangkah menelusuri tempat itu sambil sesekali menyentuh bunga mekar yang ada di setiap sudut.

Tempat ini tidak bertepi, meski Shani sudah berputar beberapa kali, ia tetap kembali pada titik yang sama. Shani berhenti, melayangkan pandangan ke sekeliling. Apa ia tidak bisa keluar dari sini dan menemukan hal yang lebih indah lagi?

Shani kembali melangkah lalu berhenti ketika melihat kursi yang begitu besar. Di atasnya, ada Viny yang terbaring di sana, Viny memakai gaun putih. Shani menunduk dan baru sadar jika ia memakai pakaian yang sama.

"Kakak, ini aku." Shani duduk di samping Viny lalu mengguncangkan tubuh Viny. Namun, kelopak mata Viny belum juga terbuka.

Shani mulai panik, ia menempelkan telunjuknya di depan hidung dan membeku ketika tau, ia tak menemukan nafas Viny. Shani menyentuh pergelangan tangan Viny, nadinya tidak berdenyut. Air mata Shani jatuh saat itu juga saat sadar, wajah Viny begitu pucat.

"KAKAAAK!!"

Viny terperanjat kaget dan langsung terbangun karena teriakan keras Shani. Viny menoleh, mendapati Shani yang baru saja bangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran di seluruh tubuhnya.

"Kamu kenapa?!" tanya Viny panik sambil menangkupkan sepasang tangannya di pipi Shani. Viny takut rasa sakit Shani kembali datang dan menyiksa Shani.

"Aku mimpi kita ada di taman belakang terus aku liat kamu tidur tapi saat aku cek, ternyata nafas kamu gak ada." Nada suara Shani bergetar ketakutan meski ia tau itu hanyalah sebuah mimpi.

Viny tersenyum seraya mencium lembut dahi Shani, "Aku gak mati, sayang." Viny menawarkan sebuah pelukan hangat untuk Shani sebagai penenang. Beberapa orang memang sangat ketakutan setelah bermimpi buruk, tetapi itu hanyalah mimpi, akan terlupakan dalam hitungan jam.

"Aku takut." Shani memeluk Viny begitu erat karena semua mimpi itu terasa sangat nyata apalagi akhir-akhir ini Viny selalu memakai baju putih. Shani takut Viny mendahului kematiannya.

"Gak ada yang harus kamu takutin, aku ada di sini."




***




"Dia masih belum mendingan," ucap Lidya menunjuk ke arah Eli yang sedang duduk di kamar dengan tatapan kosong, gadis itu masih berkabung atas kematian Gita. Lidya tau rasanya, tidak mudah memang melepas kepergian apalagi secara tiba-tiba seperti itu.

"Nanti juga dia akan terbiasa." Lala menepuk bahu Lidya, memberi isyarat agar pergi dari sini. Lala berjalan, melipat kedua tangan di belakang pinggang sambil berpikir, bagaimana mungkin Naomi bisa menembak di saat kedua tangannya diikat? Bagaimana mungkin orang sepintar dan segesit Veranda tidak bisa mencegah apa yang Naomi lakukan?

"Kamu mikirin apa?" Lidya bisa membaca kebingungan Lala.

Lala menepikan langkahnya ke sofa dan duduk di sana, "Kenapa Naomi punya kesempatan buat nembak Gita? Ve ada di sana 'kan? Dia yang siksa Naomi sebelum Naomi mau dieksekusi." Lala menatap Lidya, menunjukan banyak tanya dan kebingungan yang terlihat jelas di matanya.

"Apa maksud kamu?" Lidya memiringkan kepalanya dengan mata menyipit, tidak tau ke mana sebenarnya arah pembicaraan Lala.

"Dari mana Naomi punya pistol dengan cap yang kita buat? Selain anggota keluarga dan anak buah kita, gak ada yang punya pistol itu. Kenapa juga Naomi bisa nembak? Bukannya tangan dia diikat?" Lala mengalihkan pandangan lurus ke depan sambil memijat pelipisnya yamg tiba-tiba saja berdenyut pusing memikirkan itu.

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang