31

2.2K 269 87
                                    

Tiga hari berlalu setelah kejadian itu, Naomi masih bersikukuh tidak ingin keluar dari kamar Veranda karena takut ada musuh yang kembali  mengincarnya, ya setidaknya itu yang Naomi jelaskan pada Veranda. Meski dengan susah payah, akhirnya Veranda berhasil mendapatkan izin dari Lidya agar Naomi bisa tinggal di rumah. Sepertinya jika ada Lala, ujung kuku Naomipun tidak akan diizinkan untuk masuk ke rumah.

"Kamu lagi ngapain?" Naomi dengan lancang duduk di pangkuan Veranda lalu mengalungkan sepasang tangan di leher Veranda.

Veranda menatap Naomi sebentar dan kembali memandang ke arah puluhan monitor yang tertempel di dinding. Sudah dua hari lamanya Veranda menyuruh anak buah untuk memasang CCTV di tempat Shania dan Beby akan fight dua hari lagi. Setelah bekerja selama 48 jam tanpa henti, akhirnya CCTV itu terpasang disetiap sudut hutan bahkan di tempat yang cukup jauh dari sana. Veranda juga bisa melihat pihak Kinal melakukan hal yang sama.

"Ceritain tentang kasus itu dong." Naomi menyandarkan kepalanya di bahu Veranda. "Soal pembunuh berantai itu."

"Kenapa orang bodoh selalu banyak bertanya?" Veranda menatap Naomi malas dan kembali memperhatikan monitor itu, memastikan apakah letaknya sudah tepat serta bisa melihat semua yang ada di sana nanti. Veranda tidak boleh melewatkan kejadian sedikitpun nanti.

"Ah, Jessicaaaa, aku mau tauuu." Naomi merengek.

"Sebentar, Shinta. Aku lagi sibuk." Veranda mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang, tidak menunggu waktu lama, panggilan itu tersambung. "Heh bodoh."

"Iyaa kak Vee?" tanya Murad sedikit malas.

"Aku liat ada sungai gak jauh dari sana. Kamu pasang lima CCTV di sana."

"Terlalu jauh, tenaga lis-"

"-Besok harus udah selesai." Veranda mematikan sambungan itu kemudian memicingkan mata, masih memperhatikan monitor itu satu persatu. Detik berikutnya, ia mengangguk merasa semuanya sudah sempurna.

Veranda menunduk, memandangi Naomi yang masih menatapnya.

Naomi sengaja menghisap bibir bawahnya dengan tatapan yang sangat menggoda, tangannya bergerak, mencoba mengusap tengkuk Veranda.

"Jangan di sini. Bangun." Veranda melepaskan tangan Naomi yang melingkar di lehernya.

"Ah, okee." Naomi bangkit dari pangkuan Veranda kemudian berjalan mengelilingi ruangan yang sangat besar ini, hampir setiap dinding dipenuhi oleh monitor. "Jadi, kapan kamu cerita?"

"Ada pembunuh berantai di kota ini," jelas Veranda membuka lemari untuk mengambil salah berkas di sana dan langsung ia berikan pada Naomi. "Ini salah satu kasusnya, korban dibunuh gak dengan cara biasa, dengan cara yang sangat sadis. Udah berbulan-bulan kita pegang kasus ini tapi belum ada titik terang."

Naomi mengambil berkas itu dan membacanya, "Jadi korban selalu pegawai bank?" tanyanya. "Kamu sebar CCTV di setiap kota tapi gak bisa nangkep pembunuhnya?"

"Setiap dia beraksi, CCTVnya hancur. Semua anak buah aku yang aku suruh buat jaga, pingsan." Veranda membuka kacamatanya dan mengerjap, merasa sangat lelah akhir-akhir ini karena Lala tidak ada, jadi ia yang mengatur segalanya. Lidya sibuk menggantikan Lala mengurus perusahaan, Shani baru saja pulih. Sementara Beby tidak bisa diandalkan sama sekali menurut Veranda, isi otaknya sangat kosong.

"Aku boleh tau di sudut kota kamu simpen CCTV itu?" Naomi menyimpan berkas itu dan menatap Veranda.

Veranda mengangguk, "Aku pasang CCTV selalu di sekitar bank karna pembunuh itu mengincar pegawai bank. Jadi setiap kamu liat bank, udah pasti ada CCTV yang aku pasang." Veranda tersenyum pada Naomi. "Sekarang jawab aku, siapa pemuda yang serang kamu?"

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang