15

2K 270 82
                                    

Erika tersenyum lebar ketika melihat peluru yang Amel tembakan tepat pada sasaran. Setelah beberapa waktu berlalu, akhirnya Amel mampu menguasai semua pelajaran tentang bela diri dan menembak yang Lidya berikan. Amel juga sekarang bisa memegang pedang dan menggunakannya dengan sangat baik, begitupun dengan dirinya sendiri.

"Capek." Amel melepas headset yang terpasang di telinganya kemudian menadahkan tangan. Melihat itu, seorang pelayan langsung bergerak memberikannya botol minuman. Amel meneguk air mineral cukup banyak dan memberikannya kembali pada pelayan itu. Amel menadahkan tangannya yang lain dan pelayan lainnya memberikannya sebuah handuk kecil.

Amel mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat kemudian berjalan dan duduk di kursi untuk mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Amel mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tersenyum pada Darvis, anak buah yang selalu menjaganya ke manapun ia pergi.

"Aku pengen jalan-jalan keluar sama Erika, boleh?" tanya Amel. "Aku pengen hidup normal kaya anak seumuran aku yang bisa ke mall."

"Maaf, Nona, gak bisa."

"Aku mau jalan-jalan pokoknya." Amel melunturkan senyumannya.

"Nona mau ke mana emang?" tanya Darvis berhasil membuat Amel kembali tersenyum.

"Mau main timezone, main basket-basketan, main boneka capit, main mesin dance, sama beli banyak es krim di kedai." Amel berdiri dan meloncat karena terlalu senang akhirnya ia bisa keluar rumah.

"Besok ya?" Darvis tersenyum pada Amel dan berbalik, menatap salah satu anak buahnya. "Denger? Beli mesin basket, mesin boneka capit sama dance dan bangun kedai es krim kecil di taman bagian utara. Besok harus udah selesei, ngerti?" Darvis kembali menatap Amel yang sekarang sedang cemberut. "Kenapa orang seumuran nona pergi ke mall? Karna mereka gak mampu beli semua yang ada di sana sementara nona mampu. Saya tinggal dulu." Darvis melenggang pergi meninggalkan Amel.

Erika tertawa melihat kedua pipi Amel mengembung karena kesal. Erika duduk di kursi dan melepaskan headsetnya, "Jangan kesel-kesel. Duduk." Erika menarik tangan Amel agar duduk di sampingnya.

"Dia nyebelin banget." Amel menunjuk punggung Darvis yang perlahan hilang dari pandangannya. "Dia," Amel menatap Erika, "nyebelin," lanjutnya sambil menghempaskan tubuh di samping Erika.

"Dia boong, kamu beda sama mereka karna mereka gak punya musuh dan kamu harus ngerti itu." Erika merangkul pinggang Amel. "Apalagi yang kamu butuhin? Kamu punya segalanya, kamu mau es krim aja, mereka bangun kedainya untuk kamu."

"Orang-orang seumuran aku punya sahabat, punya pacar. Aku gak pernah ngerasain semua itu." Amel menyandarkan kepalanya di bahu Erika. "Seseorang selalu menganggap orang lain lebih beruntung tanpa dia tau, mungkin sebenernya dia lebih beruntung dari orang itu."

"Kamu punya aku, sahabat kamu." Erika menyandarkan pipinya di puncak kepala Amel yang bersandar di bahunya. "Kamu punya banyak kakak yang lindungin kamu dari segalanya, dari panas matahari yang akan bakar kulit kamu, dari angin malam yang bikin kamu kedinginan bahkan dari debu yang akan kotorin baju kamu. Mereka lindungin kamu dari segala hal." Erika mengusap kepala belakang Amel.

Amel mengangguk paham, "Cinta?"

"Cinta?" Erika menunduk untuk menatap Amel dan memandangi setiap sudut wajahnya. Erika tersenyum seraya menarik dagu Amel dan mengecup kedua belah bibirnya. "Kamu juga punya. Mulai sekarang, aku cinta kamu, aku akan jadi pelengkap dari hal yang menurut kamu itu sebuah kekurangan di hidup kamu."

"Kamu cium bibir aku, Erika. Bibir aku gak pernah ada yang berani cium sebelumnya." Amel melempar pandangan ke depan dan memegangi bibirnya yang Erika cium tadi.

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang