3

6.3K 486 37
                                    

Hancur. Satu kata yang mewakilkan seperti apa kehidupan Prilly saat ini. Takdir memang kejam, namun Prilly tidak bisa berbuat apa-apa selain harapan yang terbaik untuk hidupnya dan adiknya ke depannya.

Setelah hero pelindungnya beberapa jam yang lalu tertidur lelap tanpa membuka mata untuk selamanya, kini bidadari hidupnya menyusul heronya. Salahkah ia jika merasa tidak ada gunanya hidup di dunia ini jika tidak ada sesuatu yang harus ia bahagiakan?

Tidak. Ia tidak boleh egois. Di sini, ada adiknya yang masih dan sangat membutuhkan perlindungannya. Membutuhkan pelukan hangatnya, pengganti kehangatan yang diberikan oleh Mama dan Papanya.

"Kak, Syifa ... Syifa gak mau ditinggal," isak Syifa dalam pelukan Prilly. Gadis SMA itu terus meronta dalam pelukan kakaknya dalam racauan yang sama, tidak mau ditinggal.

Prilly menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya mendekap erat tubuh lemas adiknya yang terus menangis tergugu tiada henti. Prilly memejamkan matanya kala tubuh bidadarinya yang dibaluti kain kafan diangkat dan diletakkan dengan pelan di liang lahat. Menguatkan diri saat ribuan tanah bergerak menutupi tubuh bidadarinya yang terlelap damai.

Hiks

Sial. Sekuat apa pun ia menahan tangisnya, tetap saja tangisnya tumpah tanpa perintah. Bergabung dengan isakan adiknya yang perlahan melamban hingga ....

Bruk

"SYIFA!" Teriak Prilly seraya menahan tubuh adiknya yang tidak sadarkan diri dalam pelukannya. Tangisnya tumpah kala orang-orang mengambil alih tubuh adiknya dan membawanya ke mobil milik almarhumah Papanya.

Tubuhnya jatuh ke tanah. Tatapannya jatuh pada nisan yang bertuliskan nama Mama dan Papanya. Kedua tangannya bergerak mengusap nisan yang bertuliskan nama sang Mama. Tangan satunya terkepal kuat di atas gundukan tanah yang baru beberapa menit dimasukkan jenazah sang Mama.

"Mama, Prilly gak kuat. Prilly butuh Mama dan Papa. Prilly dan Syifa butuh nasehat kalian. Prilly dan Syifa masih butuh kehangatan dan kebahagiaan yang kalian berikan," kepala Prilly tertunduk dalam. Bayangan demi bayangan bagaimana keluarga kecilnya dahulu berputar di pikirannya bagaikan kaset.

Prilly tidak siap melepas, namun diharuskan untuk mengikhlaskan. Prilly tidak siap ditinggal, namun diwajibkan untuk bangkit tanpa bantuan. Ia harus berjuang sendiri melawan kerasnya dunia demi kelancaran hidupnya dan juga adiknya. Serapuh-rapuhnya dirinya, ia harus terlihat kuat di depan adiknya yang terlalu tidak terima dengan kepergian Mama dan Papanya. Adiknya terpuruk dan ia harus bisa mengusir keterpurukan adiknya.

Sekali lagi, Prilly mengusap nisan Mamanya dengan linangan air mata. Kemudian, ia berpindah ke sisi rumah terindah Papanya. Seperti yang ia lakukan sebelumnya, tangannya bergerak mengusap nisan Papanya.

"Maafin Prilly yang belum bisa bahagiakan kalian. Tapi, Prilly janji bakal bikin Syifa bahagia. Prilly janji akan menggantikan peran kalian dalam kehidupan Syifa. Apa pun itu akanPrilly lakukan untuk Syifa. Prilly sayang kalian, bahagia kalian di sana."

Cup

Kecupan Prilly daratkan di nisan Papanya dan beralih ke nisan Mamanya. Ia tidak bisa berlama-lama di tempat peristirahatan Mama dan Papanya karena ia harus cepat-cepat menyusul adiknya yang dibawa oleh salah satu tetangganya ke rumah sakit. Fokusnya sekarang adalah adiknya, bukan kesedihannya atas kepergian Mama dan Papanya.

Prilly harus bangkit dari kesedihannya dan melangkah maju dalam tittle baru yaitu, pelindung adiknya.

...

"Dia berada di rumah sakit," Arlan, lelaki bertubuh kekar dengan jas hitam yang menutupi kemeja putihnya menatap atasannya dengan tatapan serius.

Ali. Lelaki dengan rahang kokoh dan tatapan tajamnya itu menatap Arlan sekilas sebelum kembali menatap ke luar jendela, menerawang sesuatu yang sebentar lagi harus ia lakukan tanpa bantahan.

SurrenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang