"Pagi kak," sapa Syifa ketika melihat kakaknya melintas di depan ruang makan."Pagi, adik kakak yang cantik," sahut Prilly yang mengurungkan niatnya pergi ke depan dan beralih duduk menemani Syifa.
"Tumben pagi-pagi udah sarapan, cantik lagi. Mau kemana?" tanyanya ketika melihat penampilan Syifa yang berbeda. Karena setiap hari sabtu biasanya digunakan untuk tidur daripada harus bangun pagi-pagi seperti saat ini.
"Syifa mau ngerjain tugas sama temen, makanya Syifa udah rapi pagi ini. Sekalian mau izin sama kakak, cuma sebentar, kok kak."
"Baiklah, tapi berangkat di antar Arlan ya."
"Yah....kakak, Syifa bisa sendiri kok!"
"Syifa, kakak...."
"Di antar Arlan atau tidak sama sekali?!" tiba-tiba mereka dikagetkan dengan suara yang berasal dari belakang tubuh Syifa. Siapa lagi kalau bukan Ali pelakunya.
"Tapi kak...Syifa udah janjian sama teman."
"Keputusan kakak tidak bisa diganggu gugat!"
"Terus temen Syifa gimana?" tanya Syifa sambil mengunyah roti dengan raut wajah lesunya. Melirik sekilas ke arah Ali yang menatapnya tajam.
"Kamu tetap pergi bersama teman kamu, tapi beda mobil," keputusan Ali tidak terbantahkan selagi itu terbaik untuk Syifa maka Prilly setuju saja.
"Ya udah Syifa, yang penting kan tetap bareng teman kamu," bujuk Prilly.
"Iya kak," jawab Syifa pasrah.
"Arlan," panggil Ali. Sambil menunggu Arlan, Prilly menawarkan makanan untuk Ali.
"Kamu mau sarapan pakai apa?" tanya Prilly sambil membalikkan piring Ali.
"Roti aja," jawab Ali hingga tak lama setelah itu Arlan datang.
"Iya tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Arlan sopan sambil menundukkan kepala.
"Arlan, nanti kamu antar Syifa ke rumah temannya. Biar saya berangkat sendiri," titahnya tak terbantah yang langsung diangguki dengan patuh oleh Arlan.
Tanpa ada yang tahu, senyum tipis tercetak di sudut bibir Arlan. Melirik Syifa yang menekuk wajahnya dan seolah enggan diantar olehnya. Gadis itu... benar-benar!
"Baik, tuan."
******
Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat mendekati hari H dimana besok ia akan menjadi istri sah dari seorang Ali Alfarezi. Dia juga harus menyiapkan mental, karena baginya pernikahan bukanlah suatu perkara yang mudah. Dia nyaris 3 bulan berada di sini, bahkan dia belum tahu semuanya tentang calon suaminya itu. Sehingga jika terjadi sesuatu ke depannya, dia sudah siap akan hal tersebut. Lagian, dia tidak mau mempermasalahkan itu selagi hatinya jatuh pada Ali dan dia yakin jika Ali orang yang tepat untuknya.
Dia juga tengah memikirkan bagaimana masa depannya nanti. Masa depan Syifa, adik satu-satunya yang dititipkan Tuhan untuk menemaninya di dunia ini. Karena orang tua-nya telah meninggal akibat kecelakaan mobil. Bahkan sampai sekarang dia masih belum percaya jika orang tua-nya telah tiada. Takdir memang sekejam ini.
Dikala dirinya tengah melamun sambil memikirkan masa depannya dan menikmati pemandangan dari balkon kamarnya, tiba-tiba ada sebuah tangan yang memeluknya dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Ali.
"Kebiasaan deh, ngagetin," ujar Prilly sambil menepuk tangan Ali yang melingkar di perutnya. Sedangkan kepalanya ditaruh di bahu Prilly.
"Maaf ya, habis kamu itu dari tadi dipanggil gak nyahut," jawab Ali tetap pada posisi ternyamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender
Teen FictionPasrah. Satu kata yang mewakili semua perasaan Prilly dari tindakan Ali yang kuasa diatas segala-galanya yang menyangkut tentang dirinya. Ali yang kejam namun begitu menyayanginya sampai tidak bisa membedakan mana cinta dan obsesi. Hidup dalam kepas...