Terhitung tiga puluh menit Ali dan Prilly berada di ruangan Syifa yang terlelap damai di brankar. Sebenarnya, Ali paling tidak suka dengan kata menunggu. Tapi, karena gadis cantik pujaannya yang saat ini menyandarkan kepalanya di bahunya ini membuatnya berperang dalam kebosanan yang menyebalkan ini.
Ia dan Prilly tengah menonton tayangan reality show di televisi yang berada di ruangan Syifa dalam diam. Ali tidak suka jika tayangan di televisi lebih menarik perhatian daripada dirinya yang telah merelakan bahunya untuk Prilly sandarkan. Tapi, untuk sekedar memperlihatkan aura kejamnya yang biasa ia perlihatkan pada Prilly saja ia tidak berani. Mungkin lebih tepatnya karena saat ini ia berada di ruangan Syifa. Ia tidak mau adik Prilly melihat sikapnya pada Prilly yang jauh dari kata manis ini.
Bosan dengan tayangan yang Prilly tonton, Ali memilih membuka ponselnya dan mengecek email yang dikirimkan oleh sekretarisnya. Menggulir email demi email yang masuk sampai ia tidak sadar jika gadis di sampingnya terlelap menjemput mimpi.
Senyum tipisnya terbit. Diletakan ponselnya ke sofa dekatnya yang kosong. Tangannya bergerak mengusap wajah cantik dan putih alami milik Prilly yang benar-benar membuatnya terpukau untuk kesekian kalinya. Jangan salahkan dirinya yang kelewat licik hanya untuk mendapatkan Prilly, salahkan saja Prilly yang mampu membuatnya tergila-gila.
"Kamu mau ngapain?!"
Baru saja Ali membelai wajah Prilly, tiba-tiba saja Prilly terbangun dan langsung menatapnya takut. Rupanya Prilly sangat peka akan sentuhan ketika terlelap.
"Tidur lagi!" Desisnya tajam dengan suara pelan yang sebisa mungkin tidak mengganggu tidur Syifa.
Prilly menggeleng pelan. "Udah gak ngantung."
"Pulang."
Prilly terperangah. Tangannya ditarik paksa. Ia menelan ludahnya kasar, sekasar tarikan Ali padanya yang membuatnya mau tidak mau berdiri dengan perasaan tidak terima dan berat meninggalkan adiknya sendiri.
"Tapi, Syifa..."
"Aku akan mengirim orang suruhanku untuk menjaga adikmu," sifat otoriter Ali kembali muncul ke permukaan dan sukses membuat Prilly menelan pahit protesnya.
"Jika kau berada di sini sampai pagi kembali menjelang, itu sama saja kau tidak sayang pada tubuhmu."
Dalam perjalanan menuju parkiran, Ali membuka suara dengan nada dingin. Tapi, bukan nada suara Ali yang menjadi masalah bagi Prilly. Melainkan perkataan Ali yang menurutnya tidak masuk akal.
"Maksud kamu? Aku kan mau tidur disini supaya bisa jaga adik aku, bukan berarti aku gak sayang sama..."
Prilly terdiam, perkataannya tertahan di tenggorokan dikala telunjuk Ali hinggap di bibirnya membuatnya enggan melanjutkan perkataannya.
"Tidur di sofa yang sempit dan tidak empuk tanpa bantal. Memangnya kamu pikir tidur menelungkup di sofa sempit baik untuk tubuhmu? Aku tidak mau gagal menjaga orang yang aku sayang. Apalagi kamu merupakan orang terpenting dalam hidupku."
Prilly speechless. Pipinya merona, sial!
Menggigit bibir bawahnya agar bibir sialannya ini tidak tersenyum hanya karena perkataan manis Ali yang menggetarkan hatinya. Ali tetaplah Ali yang keras dan tak berperasaan. Ia tidak boleh terbuai dalam sekelebat kata manis yang Ali katakan karena bagaimanapun juga Ali adalah orang baru dalam hidupnya yang tiba-tiba saja menyeretnya dan mengklaimnya sebagai kekasih Ali. Aneh? Tentu saja!
"Awshh..."
"Jangan melamun. Cepat masuk mobil."
Prilly menggerutu. Ali menyentil keningnya dengan jari telunjuk dan berhasil membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia kesal namun tidak bisa mengekspresikan seperti apa kekesalannya kepada Ali yang kuat dan tidak bisa ia lawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender
Подростковая литератураPasrah. Satu kata yang mewakili semua perasaan Prilly dari tindakan Ali yang kuasa diatas segala-galanya yang menyangkut tentang dirinya. Ali yang kejam namun begitu menyayanginya sampai tidak bisa membedakan mana cinta dan obsesi. Hidup dalam kepas...