Chapter 23 - Rival?

1.6K 133 17
                                    


Merry Christmas :)

***

Kehidupan baru Nadine benar-benar di mulai sejak hari-harinya di penuhi dengan perut mual yang terasa sangat mengganggu. Namun, ia sama sekali tidak menyalahkan janin di dalam perutnya, Nadine tahu ini risiko yang harus ia tanggung sebelum menyempurnakan kebahagiaannya. Setidaknya usahanya sepadan dengan apa yang akan ia dapatkan.

Semenjak James mengetahui berita kehamilannya, pria itu menjadi lebih protektif padanya. James tidak membiarkannya untuk menyentuh dapur, bahkan ia harus mengundurkan diri dari perusahaan atas permintaan pria sinting itu.

Nadine hanya mendengus kesal ketika James kembali menceramahinya tentang menjaga kesehatan dan harus berhati-hati. “Sialan, James. Aku hanya membuat teh hangat. Don’t being over reaction!” 

“Kau bisa memintanya padaku, cara.”

“Aku hamil, James. Bukan sakit!”

Pria itu duduk di samping Nadine yang sedang bersantai di depan televisi. Salah satu tangannya mengelus perutnya yang mulai membesar dengan lembut. Seakan ia takut, tekanan sedikit saja dapat membuat makhluk hidup di dalam sana kesakitan.

“Mengertilah, cara. Aku tidak ingin kau kenapa-napa.”

Nadine tetap keras kepala. “Segelas teh tidak berpengaruh padaku maupun bayi kita.”

James menghela napas kasar. “Baiklah, kau menang.”

Nadine menghembuskan napasnya kasar. Ia meletakkan teh di atas meja sembari mengecilkan volume televisi yang di tontonnya.

Ia memiringkan tubuhnya menatap pria itu, tangannya menyentuh rambut hitam James yang mulai memanjang.  “James… aku tahu kau peduli padaku. Tapi semua yang kau lakukan sangat berlebihan. Jika kau berpikir, sedikit bergerak akan membuatku tetap aman, kau salah. Aku membutuhkan pergerakan, olahraga, senam ibu hamil atau pun yoga. Tapi kau tidak menyetujui semuanya. Kau memperlakukanku seperti orang sakit.”

James menggenggam tangan Nadine, membawa punggung tangan wanita itu menyentuh bibirnya. “Aku hanya ingin menjaga kalian berdua, Nadine. Aku tidak bermaksud untuk mengekangmu atau menyinggung perasaanmu.”

Nadine tersenyum hangat. Ia mengerti kalau James hanya ingin melindungi mereka berdua. “Kau ingat apa yang dikatakan Dokter? Alu boleh melakukan apapun yang kuinginkan. Kandunganku kuat, anak kita benar-benar seorang pejuang.”

James seakan menyesal, “Maafkan aku.”

Nadine mengangguk sembari tersenyum,. “Aku tahu kau tidak bermaksud melakukannya.”

***

Seorang pria bertubuh tegap menatap kota New York dari ketinggian, tangannya bersedekap di depan dada, menikmati kepadatan lalu lintas yang terjadi di bawah sana. Patung Liberty terlihat sangat kecil dari tempanya berdiri, terlihat sangan kokoh dan menonjol untuk menggambarkan kebebasan.

Pria itu mengenakan setelan mahal, sama sekali tidak menggambarkan sosok pria tua yang lemah tak berdaya. Tubuhnya tampak gagah dengan bahu lebar, serta punggung yang sempurna. Celana berbahan sutra yang dikenakannya, melekat ketat di sepanjang kaki. Di tambah sepatu pantofel mengkilap yang membutakan penglihatan.

Pria berwajah Asia berdiri di belakangnya dengan menundukkan kepala. “Sir?” panggilnya sopan.

Alfonso Diagello membalikkan tubuhnya. Tatapan pria itu setajam elang. Pria itu menyeringai lebar, “Bersiaplah, Wolfram. Kita akan memulai perang.”

Chance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang