Tujuh - Gio

4.3K 672 43
                                    

Pengalaman pertama memang penuh dengan percobaan dan kegagalan. Belajar mengendarai sepeda, belajar membuat kue, belajar menjahit pakaian, belajar menulis. Semua tidak terkecuali pasti menghadapi kegagalan. Mungkin ada yang langsung mencoba dan berhasil, walaupun mungkin tidak banyak. Ah tapi pada intinya, kegagalan itu wajar.

Ya kan?

Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Duduk bersila di lantai kamarku, menarik nafas sembari mengangkat kedua tangan, dan menghembuskan nafas sembari menurunkan kedua tangan. Mataku kupejamkan rapat-rapat. Benar-benar seperti sedang semedi saja.

"Abang ngapain?"

Semediku bubar jalan karena adanya pertanyaan penuh kecurigaan dari seseorang. Kubuka mataku untuk mendapati bahwa Mama Denza berdiri di ambang pintu, memperhatikan aku dengan kening berkerut. Sedetik kemudian muncul adikku yang mendadak tertawa geli. Hah, padahal kan dia tidak melihat apa yang kulakukan tadi.

"Abang mau jadi pendekar," Raleine menirukan gerakanku tadi dan mengerucutkan bibirnya. Setelah itu dia tertawa. Berbeda dengan Mama Denza yang masih tampak keheranan. Rupanya adikku memperhatikan, mungkin dia juga yang mengundang Mama Denza datang ke kamarku yang sakral.

Sebenarnya tidak juga sih. Baik Ayah, Mama Denza, Mama Indah, Raleine, ataupun Indira sering sesuka hati masuk ke sini. Benar-benar tidak ada privasi di kamar ini. Apalagi Raleine, dia bisa tiba-tiba sedang tiduran di kamarku atau menggunakan PC untuk mengunduh video artis Korea. Ketika kutanya kenapa dia tidak menggunakan laptopnya sendiri, dia menjawab dengan cuek bahwa layar laptopnya terlalu kecil. Oke, PC-ku memang memiliki layar yang besar, dikali dua. Hal-hal ini yang menyebabkan aku tidak punya koleksi video porno ataupun hal-hal lain yang berbau dewasa.

Bukan berarti aku tidak punya. Separo kutitipkan di rumah Michael. Ehem, Ayah dan Mama-mama jangan sampai tahu.

"Cuma lagi menenangkan diri." Berdeham, aku bangkit dan berjalan ke luar.

"Oh gitu. Mama takut kenapa-kenapa. Soalnya tadi Raleine tiba-tiba manggil dan wajahnya khawatir gitu."

Baik aku maupun Mama Denza sama-sama memandang Raleine. Yang dipandangi hanya tertawa tanpa suara dan bergegas turun. Aku menggeleng akan kelakukan adikku yang satu itu.

"Oh iya, Abang jadi ada tanding futsal?"

"Hmm, jadi sih..."

"Tapi..." Mama Denza sepertinya paham dengan nada suara sekaligus kembimbangan yang melandaku sejak semalam. Dia menunggu dengan sabar, menatapku langsung di mata, dan langsung membuatku semakin tidak nyaman.

"Kita bisa ngobrol sebentar?" Kegelisahan semakin melandaku.

"Hmm, boleh. Mau sambil sarapan?"

Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku. Baru pukul setengah 7 pagi. "Ngobrol dulu deh. Biar sarapannya enak."

Mama Denza setuju. Kami berjalan beriringan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Di bawah, aku sengaja berjalan mendahului menuju halaman belakang. Tempat ini baik untuk mengobrol karena kami bisa sekalian berjemur matahari pagi, suasananya tenang, dan tetap tidak diganggu oleh si kepo Raleine Camania.

"Seperti Mama tahu, Gio belum pernah punya pacar..."

Aku sudah siap kalau Mama Denza akan tertawa menanggapi kalimat pembukaku. Rupanya tidak, ekspresi Mama Denza tetap serius. Dia hanya mengangguk saja. Respon tersebut membuat aku semakin tenang dan bisa melanjutkan cerita dengan lancar.

"So, er, Gio mau coba punya pacar. Berhasil..."

Mama Denza masih mengangguk saja.

"Namanya Aluna. Adik kelas Gio waktu SMA. Orangnya cantik, manis, agak pemalu. Beberapa kali kami nonton film bareng, Gio juga ajak dia untuk nonton Gio latihan futsal. It went well. Everything goes well."

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang