Delapan - Nira

4.3K 704 43
                                    

"Horeeee! Ditto keren!!! Lanjutkaaaannn!!!!"

Teriakanku membahana mengalahkan teriakan orang-orang lainnya. Beberapa pasang mata (terutama perempuan) menatapku dengan heran tapi aku tidak peduli. Aku sampai berdiri dari tempat duduk, melompat-lompat, menepuk balon panjang untuk mendukung Ditto.

Pertandingan basket antar angkatan dilaksanakan hari ini. Ditto pastinya menjadi top scorer. Hingga kuarter kelima ini Ditto sudah menyumbang poin sebanyak 56 dari 65 poin yang didapat tim kelas 1. Tentunya kalah dari lawan mereka yaitu kelas 2. Tapi tetap saja aku bangga terhadap pencapaiannya. Tidak heran pasti di pertandingan ekstrakurikuler basket, Ditto akan dipilih menjadi salah satu pemain.

"Terus Ditto teruuuusss!!!!"

Ditto yang sedang berdiri di samping lapangan, mendadak menoleh ke arahku. Dia kemudian tersenyum dan melambai. Perbuatannya itu membuat lebih banyak lagi mata tertuju kepadaku. Pipiku sontak merona merah karena malu. Kakiku terasa lemas sehingga akhirnya aku kembali duduk di kursi. Di sampingku, Vanilla menyenggol lenganku.

"Ciye, banyak tuh saingannya," Vanilla terkikik.

"Gak nyangka ya Ditto banyak yang naksir. Dari kelas 1 sampai kelas 3," Kusapukan pandangan ke sekeliling. Cewek-cewek kelas satu mayoritas meneriakkan nama Ditto dan minoritas menyerukan nama salah satu anak kelas 2 yang lumayan ganteng. Jansen? Johnson? Entah. Kebalikannya, kelas dua juga mayoritas menyerukan nama Janse/Johnson itu dan sebagian kecil mengelu-elukan Ditto.

"Gak bisa dipungkiri kalau Ditto itu punya kualitas yang bagus," Vanilla mengangguk-angguk dan melipat kedua tangannya. Lagaknya sudah seperti pengamat profesional saja. "Lihat tinggi badannya."

Kupandangi Ditto lekat-lekat. Iya dia memang tinggi.

"Lihat kulitnya yang mulus kayak artis Korea."
Aku mengangkat bahu. Turunan Tante Rosa pasti. Tante Rosa kan kulitnya mulus kinclong bersih, semut pun pasti kepleset.

"Terus mukanya yang ganteng."

Aku bukan tipe sahabat perempuan yang ogah memuji kelebihan temannya. Tidak pernah selama sejarah pertemananku dengan Ditto, aku ogah mengakui kegantengannya. Beberapa kali bahkan aku pernah bilang sendiri pada Ditto bahwa dia memang ganteng. Yang dibalas dengan tawa saja dari Ditto. Respon Ditto seperti itu yang membuat aku tidak khawatir memujinya. Dia tidak jumawa.

"Setuju. Tapi ya kaget juga. Kita kan baru berapa bulann sekolah di sini. Udah banyak aja fans-nya dia."

"Good news spread like a fire in a forest," celetuk Vanilla.

Kami berdua terkikik.

"Tapi tenang, hati Ditto kan Cuma buat seseorang aja." Vanilla menyipitkan mata dan tersenyum penuh arti.

Kembali pipiku terasa panas. Kukibaskan tangan di depan wajah dan kuambil botol air mineral dari dekat kakiku. Setelah lebih tenang, aku menggeleng.
"Kita gak tahu apa perasaan Ditto udah berubah apa belum. Udah berapa lama aku gantungin jawaban dia kan?"

"Tapi bukannya Ditto bilang dia mau nunggu?"

"Dia bilang 'Gak usah dijawab kalau kamu belum mau jawab'. Sampai detik ini sih aku belum mau jawab."

Terdengar sorak sorai bergembira, bergembira semua. Kami refleks melirik papan skor dan ternyata skor bertambah untuk kelas 1. Sepertinya Ditto lagi yang menambah skor. Karena sekarang dia ditepuk-tepuk rekan setimnya. Bahkan... Oh My God! Ditto menatap lurus ke arahku dan dia meniupkan ciuman!

Vanilla tertawa di sampingku. Apalagi saat penonton lain menyipit ke arahku. Cepat-cepat aku menunduk, menenggelamkan wajah di pangkuan. Kurasakan tepukan pelan di pundakku dari sang sahabat.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang