Tiga Puluh Satu - Nira

4.7K 841 61
                                    

Aku panik sekali. Bukan hanya kakiku yang semakin nyeri, tapi juga karena laki-laki di sebelahku. Wajahnya semakin memerah, bibirnya membengkak, dia juga sepertinya dia mengalami pusing dan mual. Gio benar-benar diam saja, memejamkan matanya. Setelah menggendong aku dengan begitu heroik sampai membuat aku merasa seperti Princess Disney, dia duduk di sebelahku di mobil dan diam sepanjang perjalanan. Ayah menyetir seperti orang kesetanan ke rumah sakit. Nathan dan Bubu memperhatikan aku dan Gio bergantian.

Karena kemampuan menyetir Ayah, mobil kami sampai di rumah sakit dalam waktu 5 menit saja. Kami langsung berhenti di Instalasi Gawat Darurat. Beberapa suster terkejut melihat Bubu, mungkin mereka kenal. Bubu tetap tenang dan segera bergerak cepat untuk membuka pintu belakang. Gio terhuyung keluar dari mobil dan langsung ditangkap Bubu. Bubu meminta bantuan kepada perawat untuk menangani Gio yang alergi. Aku hampir mengikuti Bubu dan Gio tapi tertahan karena kondisi kakiku. Kembali aku mengaduh karena lupa sekilas akan rasa sakit dan baru terasa kembali saat mencoba melangkah. Ayah berjongkok di depanku dan kembalilah aku ke punggung Ayah, digendong olehnya untuk mengobati kakiku.

Pengobatanku tidak lama tapi proses sebelumnya yang memakan waktu lama. Ayah memaksa aku untuk dirontgen segala. Baru setelah yakin semua hal aman, kakiku ditangani. Hanya 15 menit. Diberi obat dan dibebat. Sepatu hak tinggi diubah menjadi sendal jepit yang mendadak dibeli Nathan di minimarket rumah sakit. Penampilanku aneh sekali. Dari atas sampai ke baju begitu indah, di bawah aku sangat sederhana. Sepanjang pengobatan, aku tidak bicara apa-apa. Sebenarnya aku sangat cemas dengan kondisi Gio yang entah ada dimana. Tapi Bubu bersama dia jadi seharusnya semua baik-baik saja.

"Bisa jalan?" Ayah mengulurkan tangan kepadaku setelah semua prosesnya selesai.

"Bisa," aku mengangguk. Walaupun bisa, aku tetap meraih tangan Ayah untuk membantuku berjalan. Sedikit trauma karena rasa sakit di kaki membuat aku berjalan dengan hati-hati. Hampir saja Ayah mau menggendongku lagi.

Nathan bilang Gio sudah pindah ke ruang rawat. Maka ke sanalah aku dan Ayah menuju. Nathan diminta Ayah untuk mengurusi segala administrasi dan pembayaran.

Di ruang perawatan, aku melihat Bubu yang sedang menelepon. Sementara Gio tampak sedang tidur di tempat tidur.

"Aku baru telepon Denza, mengabari kondisi Gio," Bubu bicara pada Ayah juga melirik kepadaku. "Aku benar-benar merasa bersalah karena Gio alergi dan gak mencegah dia makan itu."

"It's okay," Ayah menghampiri Bubu setelah mendudukkan aku di sofa. Ayah memeluk Bubu, mengelus lengannya, dan mencium kepala Bubu. Haduh, romantis sekali orang tuaku ini. "Apa kata dokter?"

"Lumayan parah, Dia hampir kena anafilaksis. Jadi harus minum obat dan istirahat. Anafilaksis itu maksudnya komplikasi karena alerginya sudah cukup parah karena Gio bisa dibilang alergi kronis." Bubu semakin muram.

"Tapi semuanya bisa ditangani kan?"

Bubu mengangguk. "Begitulah. Sekarang dia perlu istirahat."

Ayah menuntun Bubu menuju sofa dan kami duduk bersebelahan. Ayah sendiri tetap berdiri.

"Denza dan Javas sedang dalam perjalanan kemari," Bubu menatap ponselnya. "Kalau mereka sudah datang, kalian bisa pulang."

Ayah mengernyit. "Kalian?"

"Aku yang ajak Gio ke acara auction. Gak mungkin aku pulang sebelum Gio bisa dipastikan baik-baik saja," ujar Bubu.

Ayah tampak tidak terima. "Kita pulang atau gak sama sekali. Biar Nathan dan Nira saja pulang duluan."

"Aku juga mau nemenin Gio sampai sadar!" ucapku begitu cepat.

Ayah dan Bubu spontan menatapku. Dipandangi seperti itu aku jadi mengkeret.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang