Dua Puluh Lima - Nira

4.1K 794 57
                                    

"Kok kamu bengong?"

Pertanyaan Ditto membuyarkan lamunanku. Rupanya aku sedang memutar pulpen dan memandang TV yang gelap, tapi pikiranku kosong. Tanpa terburu-buru, aku mengalihkan pandangan pada Ditto yang duduk di sebelah kiriku. Buku soal, buku catatan, kertas-kertas hitungan, terserak di meja di hadapan kami. Aku dan Ditto sedang belajar bersama di rumahku. Vanilla nanti menyusul setelah les. Nanti dia yang mengajari kami dan membantu memeriksa pekerjaan kami.

"Capek? Mau istirahat dulu?" Ditto menyibakkan sehelai rambut dari keningku. "Tadi kayaknya Mbak Iis bikin es buah buat camilan."

Aku meletakkan pulpen di meja dan meluruskan kaki. Punggungku kusenderkan ke sofa namun perlahan tubuhku miring ke sebelah kiri dan kepalaku bersandar di pundak Ditto. Tangannya segera meraih tanganku dan mengelusnya perlahan.

"Dit, kita udah pacaran hampir dua tahun kan ya?"

Ditto tertawa pelan. "Iya."

"Pacaran kita gak kayak orang lain," ujarku.

"Hmm, orang lain tuh siapa maksudnya?"

"Misalnya kayak Biru sama Hanifa. Mereka kalau pulang sekolah selaluuuuuu bareng. Kalau Jean sama Dion, kayaknya tiap hari ada aja yang dirayain. Ulang tahun, anniversary, pertama ketemu, pertama ngedate, dan lain-lain."

"Terus?"

"Kita cuma pernah ngerayain first anniversary kita," kataku mengingat-ingat.

"Iya. Untung waktu itu Om Zaid mau kasih kamu ijin untuk makan malam bareng aku," Ditto mengelus dada. Aku terkikik. Walaupun Ayah memberi ijin, tapi tetap saja Ayah berjaga sampai aku diantar Ditto pulang. Bahkan Ayah mengantar aku ke kamar.

"Kita jarang pulang bareng karena kesibukan masing-masing." Kami punya ekskul masing-masing, aktivitas dengan orang tua kami, dan lain sebagainya. Aku juga sering dijemput oleh Mang Udin. Jadi pulang bersama kadang hanya dua kali seminggu.

"Tapi aku selalu menikmati waktu kamu aku bonceng dari sekolah ke rumah kamu pake motor." Ditto memeluk pundakku dan mengelusnya. 

"Paling kita juga Cuma kasih kado waktu satu sama lain ulang tahun," tambahku.

"Iya, gak masalah. Thank you ya. Tasnya berguna sekali," Ditto menunjuk tas yang dia pakai hari ini dan hari-hari sebelumnya. Itu tas yang bisa memuat hampir semua peralatan Ditto untuk sekolah dan basket. Daripada dia membawa dua tas terus.
Kami diam sejenak karena Ditto sedang mencium puncak kepalaku.

"Dit..."

"Nira, itu kalung baru?"

Deg.

Selama ini kalung itu tidak pernah lepas dari leherku tapi tidak pernah terlihat kalau aku pakai seragam atau baju biasa. Sering aku sembunyikan di balik pakaian atau aku timpa dengan kalung lainnya. Baru kali ini Ditto menyadari adanya kalung tersebut. Mungkin karena dia sedang memeluk aku?

"Eh, iya," Segera aku jauhkan tubuhku dari Ditto dan kembali memegang buku soal. "Ngomong-ngomong, soal Matematika yang tadi.."

"Dari siapa? Beli sendiri? Dari orang tuamu? Atau?"

"Dari Bubu," kataku cepat. Kenapa aku harus berbohong? Oh ya pasti Ditto tidak suka kalau aku pakai kalung pemberian laki-laki lain.

Ditto tampak tidak langsung percaya.

"Bubu punya kalung yang selalu dipakai, pemberian Ayah. Aku pengen juga dan Bubu kasih. Jadi yaaa... aku punya. Jarang aku perlihatkan karena, ya Ditto tahu kan harga barang dari Bubu?"

Ditto tampak tidak percaya. Kenapa sih? Kenapa dia menatap aku dengan penuh kecurigaan seperti itu? Apakah laki-laki punya suatu insting mengenai persaingan?

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang