Dua Puluh Tiga - Nira

3.7K 784 54
                                    

"Eh?"

Aku tidak salah dengar kan? Telingaku tidak tiba-tiba tuli karena teriakan saat pertandingan tadi? Tapi sekarang lapangan sudah cenderung sepi. Berarti yang kudengar itu betul.

Kami berdua saling menatap tanpa mengatakan apa-apa. Kado yang diberikan kepadaku masih kupegang, tidak erat, tidak longgar. Gio pun masih menatapku tanpa perubahan ekspresi apa pun. Dia tampak tenang dan santai.

"Kamu gak salah ngomong?" Kuputuskan aku yang bicara lebih dulu.

Gio menggeleng. Dia mengambil tasnya dan berdiri. Tinggi badannya baru kali ini kurasakan membuat aku terintimidasi. Padahal sebelumnya aku merasa biasa saja saat berdiri di hadapan atau berdampingan dengannya.

"Aku serius."

Sekarang aku memilih untuk menundukkan kepalaku saja.

"Kamu tahu aku punya pacar," bisikku dengan ragu.

"Aku tahu."

"Terus?" Kembali aku mendongakkan kepalaku kepada Gio. Masih saja ekspresi tenang itu.
Gio mengangkat bahu.

"Aku gak bermaksud merebut kamu dari Ditto. Aku bukan tipe laki-laki seperti itu. Tapi aku hanya mau kamu tahu bahwa aku sayang kamu. Aku merasa perlu menyampaikan ini karena mulai bulan depan, aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Jika itu terjadi dan aku terkesan menjauh dari kamu, aku mau kamu tahu bahwa aku bukan melupakan kamu, aku sedang sibuk, dan aku sayang sama kamu."
Seiring dengan kalimat terakhirnya, Gio menundukkan badannya sehingga matanya berada sejajar dengan mataku.

"Gio..."

"Aku tahu kamu bakal nolak aku," Gio tersenyum.

"Aku.." Aku gak tahu harus berkata apa.

"Buka dong kadonya," ujar Gio lagi.

Aku menelan ludah dan perlahan menarikk pita yang terpasang di kado tersebut. Begitu kubuka, di dalamnya terdapat sebuah kalung dengan bandul gelombang. Cantik sekali.

"Gak akan ada dua di dunia karena aku pesan khusus. Air, karena kamu senang renang dan selalu jadi orang yang menenangkan," kata-kata Gio membuat hatiku berdesir. Apalagi saat dia mengeluarkan kalung dari kotaknya dan langsung memakaikannya di leherku. Posisi kami masih berhadapan sehingga wajahku berada dekat sekali dengan dadanya. Dengan jelas aku bisa melihat kausnya yang basah karena keringat. Bau khas tubuhnya pun semakin tercium dalam jarak sedekat ini. Seharusnya aku mundur, tapi... aku...

Nyaman.

"Thanks," ujarku saat kalung itu akhirnya tergantung dengan manis di leherku dan Gio akhirnya mundur selangkah. Aku memilih menunduk memandang kalung itu alih-alih memandang si pemberi.

"Terima kasih karena mau menerima kalungnya," Gio kembali bersuara. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, aku kembali menatap matanya.

"Aku gak bisa mengatakan apa-apa, apalagi membalas perasaan kamu..." 

"Aku tahu," Gio menyahut.

"Aku punya pacar."

"Aku tahu," Gio mengangguk.

"Tapi aku sangat-sangat senang ada di dekat kamu."

"Aku ta... eh? Apa?"

Keningku berkerut karena reaksinya yang seakan tidak percaya.

"Aku senang ada di dekat kamu. Jadi aku minta maaf karena gak bisa bilang hal yang sama ke kamu. Aku berharap kita bisa tetap berinteraksi seperti kemarin. Tapi kalau itu bikin kamu keberatan.."

Gio tertawa. Tawanya membuat aku tidak merasa heran Kak Tya naksir Gio sampai sebegitunya. Dia seharusnya bisa lebih bahagia dengan perempuan lain yang juga menyukai dia. Daripada dia menyayangi aku yang punya pacar.

"Terima kasih, Nira. Sebatas itu pun aku bersyukur,"
Kami kembali sama-sama terdiam dan seperti dalam gerakan slow motion, Gio mengangkat tangannya untuk mengelus rambutku. Perlahan kupejamkan mataku untuk menikmati elusannya. Sedetik kemudian aku merasakan seseorang mencium keningku.

Ditto, maafkan aku.

***

Aku sudah mengenakan pakaian renang yang ditutup dengan outer. Aku berniat menenangkan diri dengan berenang di rumah, setelah 'ditembak' Gio tadi. Nyatanya, aku hanya bengong di pinggir kolam renang, memainkan kalung yang diberikan Gio tadi siang.

Ngomong-ngomong, setelah mencium keningku, Gio menemani aku menuju mobil dan Mang Udin yang sudah menunggu. Dia melambaikan tangan, melepaskan kepergianku seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda dia baru saja menyatakan perasaannya kepadaku.

"Hoyaaaa!!!"

Jebuuuurrrr!!

Si Setan Kecil melompat ke dalam kolam renang. Air kolam menciprati aku dengan dahsyat, membasahi rambut, wajah, hingga tubuhku. Untung saja aku tidak membawa ponsel ke tepi kolam renang.

"NATHAN!!!" Aku berteriak sekuat tenaga untuk menunjukkan kekesalanku pada sang adik. Namun bukannya merasa bersalah, Nathan malah terus tertawa-tawa dan berenang bolak balik.

"Sini kak, renang!" ajak Nathan, melambai tanpa dosa.

"Gak minat!"

"Kapan Kakak sama Nathan nggak berantem sehariiii aja?"

"Tanya Nathan tuh, Bu!"

Bubu duduk di sebelahku, mencelupkan kaki ke dalam kolam renang. Rupanya Bubu membawa handuk. Melihat aku yang basah kuyup, Bubu mulai mengelap air dari tubuhku. "Gak jadi renang?"

"Mendadak gak minat," kataku pelan, mengangkat bahu. Kubiarkan Bubu mengelap tubuhku yang basah dan juga mengeringkan rambutku.

"Kalung baru?"

Kusembulkan wajah dari sela handuk. Kok Bubu bisa tahu? Eh iya, aku pakai baju renang berpotongan dada rendah karena niatnya berenang di rumah saja. Tentu kalungnya pasti terlihat jelas.

"Iya," Kembali aku pegang bandul kalung itu.

"Dari?"

"Hmgh." Mulutku menggumamkan suara tidak jelas.

"Mungkin Gio punya pemikiran yang sama kayak Ayah," Bubu merogoh lehernya dan mengeluarkan sebuah kalung juga. "Selalu Bubu pakai sejak Ayah kasih."

Kami berdua sama-sama memegang kalung di leher masing-masing.

"Aku merasa jahat, Bu," gumamku akhirnya. Bubu diam mendengarkan saja, sehingga aku pun melanjutkan. "Bubu tahu aku pacaran dengan Ditto. Ditto sayang aku. Tapi aku juga sering chat, telepon, ketemu Gio. Tadi siang juga Gio bilang..."

Lidahku kelu saat bermaksud mengucapkan ulang kata-kata Gio.

"Gio bilang..."

Yang terdengar olehku adalah suara berkumur tidak jelas. Aku sampai memegang leherku sendiri padahal tidak ada yang salah di situ.

"I love you?" Bubu menebak. Pelan-pelan, kuanggukkan kepalaku, kembali memegang kalung lebih erat.

"Aku harus gimana, Bu?"

Pandangan Bubu berpindah kepada Nathan yang sedang berenang dengan gaya dada. Tidak lama kemudian Bubu mengangkat bahu. "Bubu juga gak tahu apa yang harus dan tidak harus kamu lakukan."

Keningku mengernyit.

"Bubu gak larang kamu pacaran sama Ditto, sepanjang kamu masih ingat tugas utama kamu saat ini. Belajar. Sepanjang kamu juga tahu batasan, harus sejauh apa berinteraksi dengan pacar. Bubu gak larang kamu dekat dengan Gio, karena Bubu tahu Gio mungkin bisa jadi inspirasi kamu untuk belajar giat karena kamu mau masuk UI. Gio juga anak yang baik, sopan, ganteng. Yang jelas, kamu harus punya niatan lurus dalam setiap interaksi kamu dengan siapa pun. Kalau dirasa mulai menyakiti perasaan, lebih baik gak perlu dilanjutkan."

"Apa aku harus tetap pacaran dengan Ditto?"

Bubu tersenyum. "Soal itu kamu sendiri yang tahu jawabannya. Kamu sayang sama Ditto atau...?"

Bubu tidak memberikan jawaban yang aku mau. Padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaan aku pada Ditto. Juga Gio.

Aduh.

***
Akun IG aku berubah jadi (at)amysastrakencana yaa
-Amy

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang