Tiga Puluh Tiga - Nira

4.5K 858 63
                                    

"Aku harus tanggapi sekarang?" Perasaanku lebih tenang, wajahku juga pasti sudah lebih rapi.
Gio mengangguk.

Ya ampun ini rasanya lebih sulit daripada menjawab pertanyaan ujian masuk kemarin. Tapi sepertinya aku memang harus jujur untuk diriku sendiri. Apakah hal ini wajar dihadapi oleh anak seumuran aku?

"Aku tuh... heran. Apa sih yang kamu suka dari aku?"

Kupikir Gio akan sibuk berpikir dulu. Rupanya dia malah tersenyum lalu cengengesan. "Aku juga gak tahu kenapa. Pertama kita ketemu, aku langsung terpesona sama kamu."

"Waktu kamu gak sengaja tendang kaki aku?"

Gio mengangguk berkali-kali.

"Aku terpesona lalu aku penasaran, ingin kenal kamu lebih dekat. Aku gak pernah sepenasaran ini sama perempuan, Nira." Aku tersenyum sedikit. Teringat cerita Michael dulu bahwa Gio sebelumnya tidak tertarik sama sekali pada lawan jenis. "Begitu kenal, aku makin sayang. Kamu itu.... lucu."

Aku mendengus.

"Kamu yang sering berantem sama Nathan. Kamu yang suka manyun kalau cemberut. Kamu yang deket banget sama Bubu, Bubu role model kamu. Kamu yang mirip banget sama Ayah tapi gak mau ngakuin. Kamu yang mudah untuk bersosialisasi sama orang. Kamu yang bikin hati ini hangat. Kamu yang entah gimana pun bikin aku senyum."

"Aku kayak pelawak ya," kataku sedikit berusaha mencairkan suasana.

"Iya. Mungkin memang aku perlu orang yang lebih ceria dan bisa bikin aku tertawa. Soalnya aku..."

"Terlalu serius," aku melengkapi kalimatnya. Gio mengangguk. Aku mengelus rambut Gio pelan. Dia kaget tapi tidak lama. Dia malah mulai tersenyum.

"Jadi..." Gio meraih tanganku yang tidak mengelus rambutnya. Tangan Gio menggenggam tanganku lalu mengangkatnya ke bibirnya. Sebentar lagi dia pasti mencium tanganku seperti du...

"HUACHI!"

Refleks, aku dan Gio berdiri lalu menoleh ke belakang. Ayahku berdiri di tangga dan sedang menggosok hidungnya.

"Ayah! Ayah ngapain di sini?"

Sungguh aku panik dan malu luar biasa. Kenapa tiba-tiba ada Ayah di sini?

"Kamu dan Gio gak ada di bawah. Ayah takut ada apa-apa aja kan." Ayahku rupanya memang berdarah dingin. Dia menjawab tanpa rasa malu, bersalah, atau penasaran. Sungguh wajahnya benar-benar datar.

"Ayah sejak kapan di atas?"

"Hmm, cukup lama. Sejak Gio bilang punya rencana beli rumah." Wajah Ayah tampak berpikir. Huh Ayahku ini ya! Kutolehkan wajah ke arah Gio dan wajahnya benar-benar seperti kepiting rebus! Merah sekali. Dia juga menunduk dalam-dalam seakan ingin ditelan lantai dan menghilang sekarang juga.

"Ayah, aku lagi ngobrol sama Gio. Kami gak ngapa-ngapain kok. Ayah ke bawah lagi deh," Tanganku kukibaskan supaya meminta Ayah turun lagi. Kasihan Gio. Dia pasti malu sekali.

Bukannya pergi, Ayah malah mengangkat bahu. "Anak ini cukup punya nyali untuk minta kenalan sama kamu di depan orang banyak, setelah Ayah selesai seminar. Lagipula kalau memang dia mau serius sama anak Ayah, anak perempuan Ayah SATU-SATUNYA, cepat atau lambat dia pasti akan menemui Ayah. Buat apa ditunda-tunda?"

Sumpah, aku sepertinya bisa merasakan aura panas dari Gio saking malunya dia. Untuk menenangkannya sekaligus meminta maaf karena ayahku membuat Gio malu, aku memegang lengannya.

"Lagipula, kondisi ini gak semenegangkan waktu Ayah minta nikah sama Bubu ke Abah kok. Waktu itu Ayah bahkan gak kenal Abah tapi minta nikah sama anaknya dalam dua minggu. Gimana coba?"

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang