Dua Puluh Satu - Gio

4.2K 818 83
                                    

"Gio!" Michael memanggil namaku dengan kencang dan aku langsung waspada, bersiap menerima operan bola dari Michael untuk kugiring dan kusarangkan ke gawang lawan. Tapi di belakang Michael, sekilas tertangkap oleh mataku sepasang muda mudi yang tampak begitu serasi. Akibatnya, aku terlambat menangkap operan Michael, gerakanku kurang cepat sehingga bola terlanjur diambil tim lawan. Dia langsung menggiring ke arah gawang kami. Sekarang aku harus mencegahnya untuk membobol gawang.

Sial. Pertahanan lini belakang kami sedang lemah. Tiba-tiba saja bola itu masuk ke gawang kami. 3-1. Fakultasku tertinggal 2 gol. Fisikku jadi terasa lebih lelah, nafasku lebih memburu. Michael menghampiri aku dan tangannya memberi isyarat gerakan memutar. Dia minta pertukaran pemain. Kenapa? Kupikir Michael masih kuat. Tapi ketika pelatih mengangguk dan wasit mengijinkan, Michael menyeretku serta keluar dari lapangan. Kami digantikan dua orang lain yang lebih segar dan siap menghajar lawan. Membalas ketertinggalan 2 gol.

Kupikir Michael akan menyeretku ke bench, menyiramku dengan air dingin supaya otakku jernih kembali. Tapi aku tahu, kalau ke arah sana, yang ada malah pikiranku semakin rumit. Ternyata Michael menyeret aku ke luar lapangan futsal, menuju mobil-mobil yang parkir dekat lapangan.

"Ngapain ke sini?" tanyaku bingung.

"Lo kenapa?" Michael bertanya dengan galak.

"Gue? Baik-baik aja," kujawab dengan bingung. Memangnya apa yang salah? Uh, sebenarnya banyak kesalahan yang aku lakukan sampai kami tertinggal sejauh ini.

"Lo miss operan gue dan anak lain tujuh kali!" Michael mengangkat jarinya. "Lo shot on goal tiga kali dan gak ada yang masuk! Lebih dari sekali gue lihat lo bengong, gak fokus. Fisik lo di lapangan, tapi pikiran lo ada di tempat lain."

Aku menunduk, menyadari bahwa yang Michael sebutkan memang benar.

"Pikiran lo ada di kursi penonton! 100% fokus ke situ!"

"Gue cuma lagi capek aja," kilahku. Aku sudah akan memutar tubuh untuk kembali ke lapangan namun Michael memegang bahuku, membalikkan tubuhku menghadapnya. Dia bahkan memegang kedua pundakku dan mencengkramnya erat.

"LO TAU DIA UDAH PUNYA PACAR!" Michael membentak. Kutarik mundur kepalaku sedikit.

"Di hari pertama lo ketemu dia, lo tahu dia punya pacar. Lo lihat sendiri interaksi mereka. Lo juga cerita bokapnya lebih cenderung ke pacarnya. Jelas. Anak temennya. Dan sekarang kita tahu siapa keluarga pacarnya. Tapi lo tetap memutuskan untuk deketin Nira. Sekarang lo lihat dia sama pacarnya, kenapa lo kaget?"

Kampret, aku mengumpat dalam hati. Kata-kata Michael benar-benar menusuk. Aku tahu Nira sudah punya pacar. Aku tahu pacar Nira pasti berkualitas tinggi. Tapi melihatnya langsung dengan mata kepalaku, saling menggenggam tangan, memperlihatkan hubungan mereka pada dunia bahwa mereka saling mencintai, membuat aku rasanya ingin melempar gawang.

"Come on bro," Michael melunak. "Futsal adalah hidup lo. Lo selalu memberikan 100% perhatian lo ke futsal. Please, jangan gara-gara seorang cewek yang baru lo kenal, semuanya bubar, citra lo buruk, performa lo gak maksimal. Apalagi lo tahu kalau pertandingan kita ini sistem gugur dan kita mau jadi Juara 1. Kalau gak menang sekarang, gimana?"

Peluit terdengar nyaring. Babak pertama usai. Berarti waktu kami tinggal 20 menit untuk meraih kemenangan.               

"Oke," aku mengangguk. "Gue akan fokus. Lo bisa andalkan gue."

Kutepuk lengan Michael dan kembali ke lapangan lebih dulu. Begitu masuk ke lapangan, sengaja tidak kulirik area penonton. Tatapanku dan fokusku hanya untuk pertandingan.

Lagipula, ini pertama kalinya dia menontonku bertanding. Seharusnya aku menunjukkan seberapa jago aku bermain futsal. Bukan mengacaukannya.

***

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang