Dua Puluh Empat - Gio

3.9K 831 65
                                    

Orang bilang waktu berjalan begitu cepat. Sekarang aku tahu itu benar adanya. Selama enam bulan bergelut dengan project untuk skripsi, penulisan skripsi yang hampir membuat frustasi karena dosen berkali-kali mengembalikan naskahku, bergelas-gelas kopi, kekurangan olahraga karena lebih banyak di depan laptop, akhirnya hari yang bersejarah ini datang juga.

Sejak dini hari, rumahku sudah ramai. Aku sendiri bangun subuh seperti biasa, shalat, berpakaian, kemudian nongkrong di dapur, memakan roti sebagai menu sarapan. Berbanding terbalik dengan Mama Denza, Raleine, dan Mama Indah yang bolak-balik menyiapkan berbagai hal. Ayah dan Papa Harris juga ikut sibuk karena istri mereka. Hanya Indira yang datang dengan kalem, lalu duduk di sampingku, ikut sarapan.

"Sibuknya kayak Abang mau nikah," ujar Indira. Memperhatikan orang tua kami bolak-balik.

Aku menanggapi dengan tawa. "Memang. Padahal cuma wisuda."

"Mama udah nangis dari di Bandung. Terharu karena katanya anaknya wisuda," Indira memperhatikan ibunya yang sekarang sedang berkutat dengan kerudungnya. Februari lalu Mama Indah memutuskan berhijab. Ini event pertama beliau memakai baju formal, sebut saja kebaya, dengan segala ornamen kerudungnya. Mama Indah menolak dipakaikan hijab di salon karena katanya ribet. Kenyataannya, sekarang dia yang membuat Papa Harris ribet dengan jarum pentul.

Sementara Mama Denza sedang membantu Raleine merapikan hiasan rambutnya. Adik-adik perempuanku juga mengenakan kebaya walaupun dengan model lebih sederhana. Karena Raleine ingin penampilannya sempurna, jadi dia butuh waktu berdandan lebih lama. Akibatnya Ayah Javas yang kena dampak menyiapkan barang dan mobil dan lainnya.

"Gak nyangka ya?" Aku memijat pangkal hidungku. Setelah wisuda berakhir, aku akan mulai bekerja, melepaskan diri dari bangku sekolah.

"Gak nyangka Abang bisa lulus? Memangnya Abang gak suka belajar?" Indira bertanya polos sekali.

"Hahaha. Kamu ini," kuacak rambut Indira sehingga kepangannya berantakan. Dia merengut tapi tidak berkata apa-apa. "Nanti kamu rasakan sendiri gimana susahnya ngerjain skripsi. Sekarang nikmati aja dulu sekolahnya."

"Ayo, berangkat," seru Papa Harris setelah kerudung Mama Indah terpasang dengan rapi. My mother is so beautiful. Apalagi dengan wajah yang berseri-seri dan mata yang berkaca-kaca.

Aku turun dari kursi dan refleks memeluk Mama Indah. Biar bagaimanapun masa kecilku lebih banyak dihabiskan dengan beliau. Dia yang tahu bagaimana aku saat kecil, nakalnya aku, pertanyaan yang membingungkan saat sekolah. Sekarang aku sudah lulus kuliah.

"Thanks, Ma," bisikku pada sang ibu kandung.

Tangis Mama Indah pecah saat itu juga.

***

Proses wisuda terasa begitu lama. Sambutan rektor, nyanyian, pemberian penghargaan pada wakil setiap fakultas. Jangan berpikir aku yang akan maju mewakili Fasilkom sebagai mahasiswa dengan IPK tertinggi. Aku duduk di deretan tengah bersama sahabat gilaku, Michael. Semester lalu, Tya yang mewakili Fasilkom meraih IPK tertinggi dan maju untuk bersalaman dengan Rektor. Iya, dia sudah lulus lebih dulu.

"Smile!" Michael berseru begitu proses sudah usai. Aku, dia, dan teman-teman kami masih terus berfoto di Balairung UI ketika prosesi wisuda usai. Berfoto dengan sahabat, dengan orang yang sekedar kenal, dengan latar belakang wisudawan, latar belakang panggung. Sampai aku rasanya capek sendiri. Tidak biasanya aku berfoto sebanyak ini. Belum lagi setelah ini masih akan berfoto juga sekeluarga.

"Mending gue disuruh tanding tiga pertandingan," gumamku kepada Michael ketika kami akhirnya keluar dari Balairung. Setelah ini pasti masih ada sesi foto di Rotunda. Dengan adik-adik kelas, dengan teman beda fakultas, dan masih banyak lagi.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang