Tiga - Nira

5.5K 788 34
                                    

Ini hari ketigaku di sekolah baru. Aku masih bersemangat untuk ke sekolah. Masih bernyanyi saat bersiap-siap dan melompat-lompat saat turun dari kamar menuju ruang makan. Hari ini ada pameran dari ekstrakurikuler. Aku dan Vanilla (juga Ditto) sudah berniat mengunjungi semua stand ekstrakurikuler untuk mengetahui hal apa yang dimiliki sekolah ini. Walaupun sudah tahu kecenderungannya akan ikut ekstrakurikuler apa, tetap saja kami ingin tahu secara lengkap.
Senyumku mendadak hilang ketika menyadari bahwa kursi utama meja makan terisi. Langkahku yang tadinya lebar, sekarang pelan. Mendadak aku tidak mood untuk sarapan.

"Nira?" Ayahku sepertinya menyadari aku sudah tiba. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum.

"Ayah sudah pulang," kataku untuk formalitas. Aku mencium tangan ayahku dan sudah akan menarik tubuhku mundur. Namun Ayah menahan tanganku dan mencium keningku.

"Tadi malam Ayah sampai."

"Oh gitu," ujarku lalu duduk di kursiku. Tepat di sebelah kanan Ayah.

"Hari ini Ayah antar kamu ke sekolah ya?" Ayah tersenyum kepadaku lalu menoleh kepada Nathan. "Setelah itu Ayah antar Nathan."

"Ayah antar Nathan aja," Aku menanggapi dengan acuh tak acuh. Aku mengambil nasi goreng ke piring dan mulai makan dengan cepat.

"Nira, Sayang, makannya pelan-pelan," Bubu memperingatkan.

"Aku buru-buru. Mau datang pagi ke sekolah," kataku sambil mengunyah.

"Telan dulu nasinya sebelum bicara," Ayah menatapku dengan kurang setuju.

Aku menatap Ayahku tapi tidak bicara apa-apa. Cepat-cepat kuhabiskan nasi goreng dan kupakai sepatuku.

"Nira, tunggu sebentar," Ayah ikut makan dengan cepat supaya bisa menyusulku. Dengan demikian Nathan juga ikut menghabiskan nasi gorengnya.

"Gak usah. Aku berangkat sendiri," Aku mengacungkan tangan, menahan Ayah supaya tidak perlu berdiri. Aku meraih tangan ayahku dan mencium tangannya. Aku segera memutar dan mencium tangan ibuku juga pipinya. Tepat saat itu Mang Udin muncul.

"Sama Mang Udin," kata Bubu tegas. Bubu menatap Mang Udin. "Bawa mobil saya buat anter Kakak ya. Setelah itu balik lagi ke sini untuk antar saya ke kantor."

"Iya, Bu," Mang Udin dengan sigap kembali berbalik dan aku juga mengikuti tanpa bicara apa-apa. Namun aku masih bisa mendengar ayahku bicara dengan nada keheranan.

"Nira lagi dapet ya?"

Nggak, Yah. Aku lagi gak pengen deket Ayah aja.

***

"Dateng-dateng kok cemberut?" Vanilla mendongak dari buku yang sedang dia baca, ke arahku yang menaruh tas dengan kasar dan wajah yang dipasang kusut.

Ketika kulongok buku yang dibacanya, dia sedang membaca bab yang akan dibahas di pelajaran hari ini. "Ayah sudah pulang."

"Bagus dong. Kan udah lama Om Zaid gak pulang?"

Aku menatap Vanilla dengan tidak percaya. "Kok bagus?"

"Kenapa gak bagus?" Vanilla balik bertanya.

"Hih," Aku menghembuskan nafas. "Pulang gak pulang gak ada bedanya."

Vanilla memiringkan kepalanya.

"Ah udah deh gak usah bahas Ayah. Nanti mood aku jadi jelek banget. Masih pagi lho padahal," Aku melipat tangan dan menelungkup di atas meja. Vanilla hanya menepuk pundakku dua kali dan setelah itu dia hening. Sepertinya kembali membaca buku. Baguslah. Vanilla memang mengerti kapan aku ingin diajak bicara dan kapan aku ingin dibiarkan sendiri.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang