Dua Belas - Nira

3.9K 714 70
                                    

Tok tok tok!

"Siapa?" Aku berdiri dari kursi rias untuk menghampiri pintu.

"Ini Bubu."

Kubuka kunci pintu kamarku dan kudapati ibuku berdiri di depan kamar. Hal yang membuatku terkejut adalah ternyata aku dan Bubu mengenakan pakaian yang sama. "Waaa, baju kita sama, Buuu!"

"Kamu suka?" Bubu bergerak berputar-putar di tempatnya.

"Suka!" Aku ikut menggerakkan gaunku sehingga helaiannya berkibar. "Aku sudah siap. Kita berangkat sekarang?"

"Iya. Ayo,"

Aku merangkul lengan Bubu saat kami berjalan turun. Malam ini kami akan menghadiri acara gathering para penggiat Human Capital di perusahaan swasta. Tujuannya adalah untuk berbagi ilmu terkait pengelolaan karyawan. Sudharma Corp menjadi sponsor dari acara gathering ini sehingga dengan demikian Bubu datang untuk mewakili. Bubu mengajak aku untuk menemaninya dan aku dengan senang hati menemani Bubu.

Ketika kami sampai di lantai dasar, kami disambut Ayah dan Nathan yang keduanya sedang menonton TV. Aku langsung memalingkan wajah dari Ayah. Sejak aku marah pada Ayah di Bali, aku masih belum mau bicara dengan Ayah. Beberapa kali Ayah mengajakku bicara tapi aku selalu tidak mau. Karena itu juga kamarku sekarang aku kunci agar Ayah tidak bisa masuk.

"Kalian pergi sekarang?" tanya Ayah.

"Iya, Mas,"

"Mang Udin tapi gak ada. Ayah yang antar ya?" Aku tahu pertanyaan Ayah ditujukan kepadaku. Tapi aku memilih untuk tidak menanggapinya.

"Gak usah. Aku yang nyetir aja." Aku mendengar Bubu menjawab. "Masa iya pemilik perusahaan yang jadi sponsor utama datang cuma buat jadi supir? Lagian kamu belum siap-siap, Mas."

"Aku gak masalah tunggu di dalam mobil," kata Ayah, berkeras.

"It's okay, Mas..."

"Baiklah..." Suara Ayah terdengar memelas.

Sepertinya sudah tercapai keputusan bahwa aku akan tetap berangkat bersama Bubu saja. Karena itu, aku cepat-cepat meraih tangan Ayah untuk menciumnya dan segera berjalan ke luar. Rupanya Bubu segera mengikutiku karena sebelum aku sampai di mobil, bunyi kunci mobil dibuka sudah terdengar. Aku bergegas duduk di bangku pengemudi di depan.

Bubu tidak banyak bicara saat menyetir mobil dari rumah menuju ke jalan utama. Namun saat mobil sudah berada di jalan besar, Bubu mulai bersuara.

"Kak..."

Aku yang tadinya memandang keluar jendela, sekarang menoleh kepada Bubu.

"Ayah salah apa sama Kakak?"

Deg. Akhirnya topik ini diangkat juga.

"Hmm?" Bubu menoleh kepadaku dan memiringkan kepalanya.

"Gak tahu," kataku pelan. "Menurut Bubu gimana?"

"Yang lagi gak mau ngomong sama Ayah kan kamu. Bubu cuma pengen tahu apa yang ada di pikiran kamu. Itu aja," Bubu kembali bicara dengan nada lembut.

Aku masih menolak bicara maka Bubu kembali melanjutkan.

"Ayah sedih sekali waktu Kakak marah sama Ayah di Bali. Lebih sedih lagi sewaktu sudah di Jakarta dan Kakak masih gak mau ngomong sama Ayah. Kalau Kakak ada yang mengganjal ke Ayah, coba disampaikan. Supaya Ayah bisa introspeksi diri. Mungkin Bubu juga. Kalau dingin begini, kasian Ayah."

"Bubu gak kasian sama aku?"

Bubu menoleh cepat ke arahku.

"Aku... aku gak mau ngomongin soal Ayah. Nanti aku nangis."

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang