Dua Puluh Tujuh - Nira

3.6K 851 71
                                    

There it goes. Kedua laki-laki ini bertemu kembali. Ditto yang kaget karena melihat Gio, begitu pula sebaliknya. Tapi memang aku sengaja memanggil Ditto kemari.

"Duduk, Dit," kuraih tangan Ditto dan memintanya agar duduk. Dia memang duduk tapi matanya tetap tertuju pada Gio. Begitu pula Gio. Tidak melepaskan pandangannya dari Ditto.

"Kamu cowok yang ditaksir kakakku," Ditto yang bicara duluan.

Gio membalas dengan gelengan. "No more," katanya. Bisa kulihat Ditto mengangkat alis. "Dia sudah punya pacar kan?"

Ditto mendengus lalu melipat tangannya di dada. Terlihat sekali dia tidak suka. Mungkin salah aku memintanya datang kemari dan bertemu aku yang sedang bersama Gio.

"Lalu kamu memutuskan untuk mengisi waktu dengan Nira? Pa-car-ku?" Kentara sekali Ditto ingin menunjukkan bahwa aku miliknya. Dia juga pasti sudah bisa mencium bau hubungan aku dengan Gio. "Dia ya alasan kamu gak ikut Om Zaid, Tante Risa, dan Nathan ke wedding anniversary-nya Om Evan dan Tante Jihan?"

Aku memandang Ditto dan mengangguk.

"Dia juga yang ngasih kamu kalung?"

Glek. Aku tidak menyangka bahwa Ditto bisa berpikir sampai ke sana. Mau tidak mau aku mengangguk lagi.

"Brengsek!" Ditto meraih kerah baju Gio dalam gerakan yang tidak terduga.

"Ditto!" Aku memekik dan segera memajukan diri untuk melerai mereka berdua. Gerakanku rupanya menyenggol meja sehingga gelas jusku miring dan jatuh menyentuh lantai. Bunyi pecahannya cukup memekakkan telinga dan membuat kedua laki-laki itu melepaskan diri. "Kya!"

"Nira! Kamu gak apa-apa?" Ditto yang pertama meraihku ke pelukannya. Matanya awas melihat posisi gelas yang jatuh. Tanpa pikir panjang dia lalu menunduk untuk melihat apakah ada pecahan gelas yang terbang. Untunglah aku tidak apa-apa.

"Aku gak apa-apa. Cuma kaget aja, Dit," ujarku menenangkan. Aku menarik tangan Ditto agar dia berdiri. Ditto segera kembali ke sisiku. Gelas yang pecah ditangani petugas dan aku berkali-kali minta maaf. Ketika petugas sudah pergi dan keributan mereda, aku baru sadar bahwa dari tadi Gio berdiri diam saja melihat aku dan Ditto. Wajahnya sungguh sangat datar sampai aku pikir dia dia sudah tidak memiliki emosi lagi.

"Gio?" Panggilanku tidak langsung berefek kepadanya. Dia masih diam sampai akhirnya matanya berkedip dan dia memilih untuk duduk.

"Baiklah," kata Gio saat situasi kembali tenang. Aku dan Ditto juga sudah kembali duduk. "Baiklah. Aku minta maaf karena mengganggu hubungan kalian berdua."

"Yeah, berhenti..."

"Ditto, aku minta putus!" Kupotong kalimat Ditto dengan sesuatu yang ingin aku ungkapkan. Sesuatu yang membuat aku mengundangnya datang kemari.
Mendengar kalimat itu, baik Ditto maupun Gio sama-sama memandangiku dengan bola mata mereka yang sepertinya akan keluar.

"Aku serius. Aku minta maaf karena gak bisa jadi pacar yang baik. Tapi aku memang merasa ada yang salah. Bukan, bukan karena Gio." Sepertinya itu perlu kutambahkan karena Ditto sudah melirik Gio lagi dengan tatapan ingin berulah. "Ada yang salah di hati aku dan bikin aku gak bisa fokus karena hubungan ini. Jadi aku mau kita putus. Ya?"

"Lalu kamu akan memilih anak futsal ini?"

"Don't worry, bro. Nira bahkan baru minta saya ngejauhin dia juga," Gio bersandar ke kursi dan menatap kedua tangannya.

"Apa?" Ditto bergantian menatap Gio dan aku.

"Aku minta maaf ke kalian berdua. Aku pasti banyak salah sama kalian. Aku minta berhenti dengan semua ini karena aku selalu merasa gak tenang. Aku juga mau fokus kuliah. Maafin aku." Aku menundukkan kepalaku begitu rendah sehingga hampir menyentuh meja.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang