Tiga Puluh - Gio

4.4K 823 94
                                    

Seiring dengan selesainya ujian Nathan, berarti usai pula lah peranku sebagai guru privatnya. Aku tidak punya alasan lagi untuk menyambangi kediaman keluarga Sudharma karena sudah tidak ada keperluan. Selama beberapa bulan menjadi tutor Nathan, bisa dibilang aku gagal meraih Nira untuk kembali dekat denganku.

Dia tetap teguh pada pendiriannya. Sebenarnya aku salut padanya karena itu. Dia tetap tidak mau membalas chat yang aku kirimkan. Dia tetap tidak mengangkat telepon dariku. Meskipun saat bertemu, kami tetap bertukar salam dan senyum. Tidak lebih. Nira juga sibuk. Dia hampir setiap hari belajar dengan Vanilla dan Ditto. Ini yang membuatku cukup kesal. Mantan pacarnya punya lebih banyak waktu berinteraksi dengan dia. Walaupun Nathan bilang kakaknya tetap hanya berteman dengan Ditto. Jika tidak belajar, Nira akan berenang. Sisanya dia menghabiskan waktu dengan keluarga: sekedar di rumah, liburan, atau mengikuti acara orang tuanya.

Begitulah. Nampaknya percintaanku benar-benar harus kandas.

"Aduh!"

"Ketombe lo terbang tuh!"

"Hah?"

Mas Bimo berdiri di samping mejaku, memperhatikan aku dengan tampang geli sekaligus penasaran.

"Kenapa lagi lo?" Mas Bimo menyimpan mug berisi kopi di mejanya, yang sebenarnya tidak jauh dari mejaku, lalu duduk masih sambil memperhatikan anak buahnya ini.

"Gak apa-apa, Mas," aku menunduk memperhatikan meja. Apakah benar yang mas Bimo bilang tadi bahwa saat aku menggaruk kepalaku ada ketombe beterbangan?

"Jangan kayak cewek dah. Bilang gak apa-apa taunya ada apa-apa," Mas Bimo menggeleng-geleng.

"He he. Gak apa-apa, Mas. Cuma mikir mungkin kisah cinta saya harus kandas," kataku jujur.

"Oh. Cari lagi lah yang lain." Hanya itu yang dikatakan Mas Bimo. Setelah itu dia kembali tenggelam dengan pekerjaannya di hadapan dua monitor layar besar

"Hhhh," aku hanya sanggup menghela napas.

***

Mungkin ini apa yang dinamakan doa orang teraniaya. Teraniaya oleh cinta. Di saat aku sedang bersiap pulang, menaiki motorku menuju rumah, bertemu keluargaku, kembali makan malam dengan masakan Mama Denza (bukannya aku tidak suka ya. Tapi setelah hampir setiap hari makan dengan memandang si cantik, rasa makanannya jadi berkali lipat lebih enak), lalu tidur, Nathan menelepon.

"Bisa ke rumah gak Bang?"

"Kenapa?"

"Hmm, guru udah kasih soal ujian kemarin. Aku mau bahas sama Bang Gio. Sejauh mana hasil yang aku kerjakan,"

"Sebenernya sih itu kurang baik. Nanti kamu jadi mikirin hasilnya. Kalau ternyata banyak yang bagus ya bisa PD. Kalau ternyata banyak yang salah, kamu stres sendiri. Mending langsung tunggu hasil dari sekolah aja," saranku kepada Nathan. Walaupun sebenarnya Nathan memberikan kesempatan kepadaku untuk datang ke rumah yang artinya aku bisa bertemu lagi dengan Nira. Tapi, kalau memanfaatkan keinginan pribadiku dan 'mengorbankan' Nathan, rasanya kurang benar.

"Gitu ya. Baiklah,"

Lalu Nathan diam.

"Ada sesuatu lagi?" tanyaku karena Nathan seperti ingin mengucapkan sesuatu lagi.

"Kakak butuh diselamatkan,"

"HAH?!" Alarm dalam pikiranku langsung menyala. Kenapa dengan Nira? Ada masalah apa? Apakah dia dalam bahaya? Apa yang terjadi?

"Kak Vanilla gak bisa bantu belajar karena ada urusan ke UI, ngurusin kuliahnya. Jadi sekarang.... Kakak belajar sama Kak Ditto doang,"

"Ck." Refleks. Nathan tertawa.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang